Bismilläh...
Ini adalah hari kesekian saya ada di rumah yg belum saya tempati. Rencana insyaALLOH bulan dpan pindahan,tp duka...
Langit tampak mendung. Padahal saya bwa ke2 anak saya,tp sengaja tdi naik angkot..Zaid sbnarny panas kmrn,tp drumah gda siapa2,mamah ke 'lembur'. Jd weh zaid dibwa.
Cerita soal rumah sbnarny blm 100% selesai,tp tetap hrus bsukur. Sudah bisa ditempati,kalo melihat yg msh ngntrak.Benar2 hrus bsyukur dp yg ada,wlw mungkn RSS-sy lbh suka menyebtny dg kecil n sdrhana..
Wah,mg saja rumahny cpt jadi dan berkah..Aamiin
INDAHNYA BERBAGI
Coretan penaku
Sederhana, jauh dari sempurna
Semoga bermanfaat
Total Tayangan Halaman
Sabtu, 26 Desember 2009
Rabu, 23 Desember 2009
Minggu, 20 Desember 2009
Episode di akhir Ramadhan
By : Nurul Mizaniah Ummu Aiman
Bismillah..
Mencicipi penjara karena satu kejahatan adalah hal yang memalukan, tapi dijebloskan kedalam tahanan sebagai korban suatu ‘hukum yang aneh’ adalah hal yang memilukan, mungkin lebih tepatnya, adalah hal yang perlu di renungkan. Itulah yang terjadi dengan suamiku 7 tahun silam.
Kalau saja kata ‘andai’ bukanlah suatu larangan (karena bisa merupakan bentuk penggugatan terhadap takdir Nya) mungkin kata itulah yang ingin kuucapkan saat itu. ‘andai’ saja siang musim dingin itu suamiku langsung pulang kerumah, tapi tidak, Allah berkehendak lain, selesai sholat ashar di musholla dekat rumah, ia menuju pasar untuk membeli voucher, karena pulsa kami sudah habis, pulangnya…di tengah jalan ia bertemu mabahits (polisi intel Mesir), mereka menanyakan paspornya, dan karena memang paspor suamiku ada di rumah, mereka mengikuti suamiku pulang untuk mengambil paspor. Saat itu aku…(lupa sedang apa, tapi kata suamiku aku sedang menyetrika) suamiku masuk dengan salamnya…ku sambut dengan agak kaget ketika mendengar ia mengatakan bahwa ia datang dengan mabahits (kata mabahits memang agak menakutkan ditelinga kami, mahasiswa Indonesia), suamiku mengambil paspornya kemudian menemui intel tersebut, tidak berapa lama ia kembali masuk kerumah dan mengatakan bahwa akan pergi bersama mabahits ke kantor imigrasi untuk mengurus visanya.(masa izin tinggal suamiku memang sudah habis,namun saat itu ia sedang dalam proses perpanjangan visa, karena suamiku sudah lulus kuliah di al azhar, otomatis surat keterangan pelajar yang bisa dijadikan jaminan untuk memperpanjang visa tidak bisa ia dapat, dan ia pun menempuh jalur ‘tabi’ atau status ‘ikut istri’, karena aku masih terdaftar sebagai pelajar) Akupun melepas suamiku tanpa prasangka sedikitpun.
Selang beberapa jam kemudian, Abu Nabil, seorang staf local KBRI yang bertugas di bagian athan (atase pertahanan), -kebetulan beliau berasal dari satu daerah dengan kami, dan lumayan akrab-, beliau menelpon menanyakan suamiku, sekali lagi, tanpa prasangka sedikitpun, ku ceritakan apa adanya, bahwa suamiku sedang ke kantor imigrasi bersama mabahits, sampai ku tutup telpon, aku masih tak menduga apapun.
Sampai akhirnya, seorang teman dekat suamiku menelpon, menanyakan bersama siapa aku dirumah, ia juga bertanya kronologis suamiku pergi dibawa mabahits…(teman ini mungkin memang tak sepandai abu nabil yang bisa berusaha netral dan tidak memicu emosiku)..akupun mulai dihinggapi curiga..dari mana ia tahu suamiku dibawa mabahaits??..dan tanpa sadar akupun menangis..bayangan-bayangan buruk mulai berkelebat dibenakku..tak kudengar lagi ucapan teman tadi yang mengatakan akan meminta beberapa teman putri untuk menemaniku di rumah.
Entah siapa yang kemudian muncul lebih dulu…satu persatu teman-teman dekatku datang, mereka menghibur dan berusaha menyabarkanku, aku tak ingat lagi apapun,yang ku ingat saat itu cuma…betapa aku ingin tahu, kemana suamiku mereka bawa? bagaimana keadaannya sekarang? terbayang cerita seram orang-orang tentang polisi mesir yang temperamen, ya Allah..lindungilah suamiku..airmataku terus mengalir, sejenak ucapan adikku -agar aku bisa mengontrol emosi, karena kasihan zaid yang saat itu sudah berusia 7 bulan didalam perutku- menyentakkanku, tapi tidak lama...kesadaran bahwa ada si kecil yang juga menyertaiku dalam kecemasan terhadap nasib ayahnya, membuatku semakin sedih dan pilu…akhirnya ku kelelahan, dan tertidur dalam tangis, malam itu ku lalui dengan hati tak menentu, mengingat tak satupun dari kami, mengetahui dimana rimbanya suamiku, termasuk KBRI. ditemani adikku dan suaminya, aku berusaha tetap tenang.
Lewat tengah malam, handphone yang tak pernah lepas dari sisiku berbunyi, cepat ku angkat, berharap ada kabar dari suamiku, alhamdulillah..harapanku tidak sia-sia, seseorang dari ‘kinana cybercafe’ memberi kabar gembira, malam itu suamiku menghubungi mereka lewat hp teman seorang tahanan dari Binin (satu Negara di Afrika, belakangan aku tahu dari suamiku, ia ditahan bersama suamiku dengan kasus yang sama, namun nasibnya lebih aneh..saat bertemu mabahits, dia bersama seorang temannya sedang ingin berkunjung ke rumah teman mereka di Nasr city, visa mereka masih ada, tapi karena saat bertemu mabahits mereka sedang tidak memegang paspor, otomatis tidak bisa dibuktikan, dan karena itulah mereka di tahan, sesaat setelah dibawa, mereka sempat menghubungi teman yang ingin mereka kunjungi, dan jadilah malam itu sang teman berhasil menemukan mereka, sebuah berkah juga bagi suamiku, iapun akhirnya bisa menghubungi temannya) dari sinilah kami tahu suamiku sekarang sedang berada di maktab syurthoh (kantor polisi) di daerah Abbas ‘Aqqad, sekilas aku sempat protes kenapa suamiku tidak langsung menghubungiku, tapi teman yang menghubungiku menenangkan dengan mengatakan, sengaja suamiku tidak menghubungiku karena tidak ingin membuat emosiku terganggu, dan itu akan memakan waktu, padahal waktunya terbatas, mereka sangat dijaga ketika berinteraksi dengan orang luar, dan mengapa suamiku menghubungi kinana, karena disanalah komunitas teman-teman dekatnya saat itu (suamiku membuka usaha warnet bersama) dan no.telpon kinana lah yang paling ia hapal.
Alhamdulillah…aku jadi lebih tenang, sekitar jam 3 dinihari, hp ku kembali berbunyi… suara di sebrang sana membuatku tak sanggup menahan tangis yang sempat terhenti, lewat hp abu nabil suamiku sibuk menenangkanku, rupanya teman-teman kinana bersama abu nabil sedang mengunjungi suamiku untuk mengetahui kabar sekalian membawakan makanan sahur, hari itu adalah hari terakhir bulan Ramadhan. Mengetahui suamiku baik2 saja membuatku mendapat semangat untuk makan sahur buat bekal puasa hari itu.
Tak sabar menunggu siang,aku sudah menyiapkan apa saja yang ingin ku bawa untuk suamiku di tahanan (adikku yang menyarankan ini, pikiranku benar-benar blank dan tidak tahu harus berbuat apa) kaos kaki, sarung dan beberapa pakaian tebal pun ku masukkan tas, sedih rasanya mengingat suamiku saat itu hanya memakai jaket tipis, peci dan kaos kaki tipis (itulah yang dipakainya saat pergi ke musholla), padahal sedang musim dingin, terbayang suasana sel yang sangat tidak mendukung di musim dingin. (saat ini aku bisa membayangkan perasaan para istri yang suaminya sedang dalam tahanan…sabar ya bu)
Akhirnya siang datang…dengan penuh harapan, aku ditemani adik dan seorang teman dari KMKM (keluarga mahasiswa Kalimantan mesir, salah satu organisasi kekeluargaan perdaerah) mendatangi kantor polisi abbas ‘aqqad, namun singkat cerita…entah bagaimana proses izin pertemuan tersebut (karena aku dan adikku memang hanya menunggu diluar, sementara teman dari KMKM itulah yang mengusahakan izinnya) setelah beberapa jam menunggu, tanpa alasan dan keterangan yang jelas, kami pulang tanpa hasil, harapan bertemu suamiku dan memastikan sendiri keadaannya baik-baik saja pun gagal..akhirnya aku pasrah, dengan keyakinan ada Dia yang menjaga suamiku dan tidak akan menyia-nyiakan harapan hambaNya membuatku berusaha tegar, menunggu kabar dan perkembangan selanjutnya (dari cerita suamiku kemudian baru ku tahu, saat itu ia sedang dipindahkan ke rumah tahanan di sebrang kampus al azhar putri di hayy sabi’, bersama kriminil-kriminil lain, mereka diangkut menggunakan mobil tahanan berwarna biru…mobil yang seringkali kami lihat melintas dijalan..tak terbayangkan ternyata suamiku termasuk diantara orang yang mendapat ‘kesempatan’ merasakan naik mobil itu, sering kami heran melihat tahanan-tahanan yang ada didalamnya melongok lewat jendelanya yang kecil lagi ber teralis, apa mereka tidak malu menampakkan wajahnya dihadapan orang?? ternyata udara panas dan pengap didalam mobil itulah yang membuat mereka justru saling berebut mencari udara segar melalui jendela, kasihan suamiku…).
Siang berlalu…ifthor (buka puasa) pun datang..tak berapa lama, takbir kerkumandang..pemerintah mesir mengumumkan, bahwa 1 syawal telah datang..Idul fitri tanpa suami? Hanya aku dan zaid yang masih dalam perut. yang ada, betapa menyedihkan, tambah pilu mengingat nasib suamiku yang entah bisa ikut merayakannya atau tidak. Ya Allah jagalah suamiku, aku yakin seyakin-yakinnya, Kau selalu bersamanya.
Allah memang maha penyayang kepada hambaNya yang berserah diri, doa dan harapanku di ijabahNya, malam itu suamiku menelpon, insyaAllah malam itu juga ia akan pulang, ia dibebaskan dan akan secepatnya kembali ke rumah…terima kasih ya Allah, ‘maka nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan??’ ,seorang teman dekatku –yang sejak berangkat ke mesir hingga hari itu- tetap setia menemani dalam suka dan duka, ia yang saat itu berada disampingku, menjadi saksi betapa tak tergambarkan suka cita yang ku rasakan.
Jam 11 malam waktu kairo (kalo ga salah), salam suamiku yang khas muncul di depan pintu rumah kami -yang memang sengaja ku buka lebar-lebar- (aku tak takut pintu terbuka walaupun sudah tengah malam, karena memang masih ada beberapa teman yang juga sengaja menunggu ketika tahu suamiku akan pulang malam itu). Nikmat itu benar-benar nyata, karunia dan anugerah yang mungkin sering aku lengah dengan keberadaannya, (“manfa’atkanlah kebersamaan yang kau punya dengan orang-orang yang kau sayang, karena kau tak pernah tahu, kapan nikmat itu Ia ambil kembali”)…
Tak nampak raut sedih ataupun penyesalan pada diri suamiku, ia tahu dan yakin, inilah scenario Allah yang harus ia lewati, dengan penuh rasa syukur..ia berterima kasih kepada semuanya, atas perhatian dan dukungan yang ada. Aku hanya tak mengerti…hukum mesir yang menganut ‘asas praduga bersalah’ (seseorang langsung dinyatakan bersalah ketika terlihat melanggar hukum, masalah pembuktian bahwa ternyata dia tidak bersalah, itu urusan belakangan, yang penting tahan dulu) menurutku benar-benar merugikan, karena nya suamiku jadi punya pengalaman aneh, diborgol berdua dengan seorang tahanan berkulit hitam, kemana-mana terpaksa harus berdua, bahkan ke kamar kecil tahanan yang kondisinya sangat memprihatinkan, tanpa pintu.
Ala kulli haal, tak ada takdir Allah yang sia-sia, setiap pengalaman seburuk dan sepahit apapun, selalu dapat di jadikan ibroh dan renungan. Sungguh ini tak sebanding dengan derita dan jalan hidupnya mereka para salafush sholeh yang keluar masuk penjara demi menegakkan yang hak, Imam Ahmad yang rela dicambuk dan di siksa di dalam penjara demi mempertahankan keyakinannya bahwa al qur’an adalah kalamulloh, bukan makhluk. Semakin tinggi pengakuan seseorang atas cintanya pada robbnya, semakin sering pula Allah akan mengujinya, itulah tanda pembuktian cinta, tinggal kita yang memilih, tetap ingin membuktikan, atau menyerah berbalik arah. Ya Allah, tetapkanlah hati kami, dalam menggapai cinta dan ridhoMu.
Pesan singkat untuk mereka para pemegang kendali hukum…tolong pertimbangkan hukum-hukum yang ‘aneh-aneh’, agar di perjelas dan tidak lagi membuat orang ter ‘aneh-aneh’.
Kepada semua pihak yang ‘terlibat’ di dalam tulisan ini, ana ucapkan jazakumulloh khoir, hanya Allah yang bisa membalas semua support dan care kalian. Semoga kita bisa selalu mengambil pelajaran dari setiap episode jalan hidup kita.
Bismillah..
Mencicipi penjara karena satu kejahatan adalah hal yang memalukan, tapi dijebloskan kedalam tahanan sebagai korban suatu ‘hukum yang aneh’ adalah hal yang memilukan, mungkin lebih tepatnya, adalah hal yang perlu di renungkan. Itulah yang terjadi dengan suamiku 7 tahun silam.
Kalau saja kata ‘andai’ bukanlah suatu larangan (karena bisa merupakan bentuk penggugatan terhadap takdir Nya) mungkin kata itulah yang ingin kuucapkan saat itu. ‘andai’ saja siang musim dingin itu suamiku langsung pulang kerumah, tapi tidak, Allah berkehendak lain, selesai sholat ashar di musholla dekat rumah, ia menuju pasar untuk membeli voucher, karena pulsa kami sudah habis, pulangnya…di tengah jalan ia bertemu mabahits (polisi intel Mesir), mereka menanyakan paspornya, dan karena memang paspor suamiku ada di rumah, mereka mengikuti suamiku pulang untuk mengambil paspor. Saat itu aku…(lupa sedang apa, tapi kata suamiku aku sedang menyetrika) suamiku masuk dengan salamnya…ku sambut dengan agak kaget ketika mendengar ia mengatakan bahwa ia datang dengan mabahits (kata mabahits memang agak menakutkan ditelinga kami, mahasiswa Indonesia), suamiku mengambil paspornya kemudian menemui intel tersebut, tidak berapa lama ia kembali masuk kerumah dan mengatakan bahwa akan pergi bersama mabahits ke kantor imigrasi untuk mengurus visanya.(masa izin tinggal suamiku memang sudah habis,namun saat itu ia sedang dalam proses perpanjangan visa, karena suamiku sudah lulus kuliah di al azhar, otomatis surat keterangan pelajar yang bisa dijadikan jaminan untuk memperpanjang visa tidak bisa ia dapat, dan ia pun menempuh jalur ‘tabi’ atau status ‘ikut istri’, karena aku masih terdaftar sebagai pelajar) Akupun melepas suamiku tanpa prasangka sedikitpun.
Selang beberapa jam kemudian, Abu Nabil, seorang staf local KBRI yang bertugas di bagian athan (atase pertahanan), -kebetulan beliau berasal dari satu daerah dengan kami, dan lumayan akrab-, beliau menelpon menanyakan suamiku, sekali lagi, tanpa prasangka sedikitpun, ku ceritakan apa adanya, bahwa suamiku sedang ke kantor imigrasi bersama mabahits, sampai ku tutup telpon, aku masih tak menduga apapun.
Sampai akhirnya, seorang teman dekat suamiku menelpon, menanyakan bersama siapa aku dirumah, ia juga bertanya kronologis suamiku pergi dibawa mabahits…(teman ini mungkin memang tak sepandai abu nabil yang bisa berusaha netral dan tidak memicu emosiku)..akupun mulai dihinggapi curiga..dari mana ia tahu suamiku dibawa mabahaits??..dan tanpa sadar akupun menangis..bayangan-bayangan buruk mulai berkelebat dibenakku..tak kudengar lagi ucapan teman tadi yang mengatakan akan meminta beberapa teman putri untuk menemaniku di rumah.
Entah siapa yang kemudian muncul lebih dulu…satu persatu teman-teman dekatku datang, mereka menghibur dan berusaha menyabarkanku, aku tak ingat lagi apapun,yang ku ingat saat itu cuma…betapa aku ingin tahu, kemana suamiku mereka bawa? bagaimana keadaannya sekarang? terbayang cerita seram orang-orang tentang polisi mesir yang temperamen, ya Allah..lindungilah suamiku..airmataku terus mengalir, sejenak ucapan adikku -agar aku bisa mengontrol emosi, karena kasihan zaid yang saat itu sudah berusia 7 bulan didalam perutku- menyentakkanku, tapi tidak lama...kesadaran bahwa ada si kecil yang juga menyertaiku dalam kecemasan terhadap nasib ayahnya, membuatku semakin sedih dan pilu…akhirnya ku kelelahan, dan tertidur dalam tangis, malam itu ku lalui dengan hati tak menentu, mengingat tak satupun dari kami, mengetahui dimana rimbanya suamiku, termasuk KBRI. ditemani adikku dan suaminya, aku berusaha tetap tenang.
Lewat tengah malam, handphone yang tak pernah lepas dari sisiku berbunyi, cepat ku angkat, berharap ada kabar dari suamiku, alhamdulillah..harapanku tidak sia-sia, seseorang dari ‘kinana cybercafe’ memberi kabar gembira, malam itu suamiku menghubungi mereka lewat hp teman seorang tahanan dari Binin (satu Negara di Afrika, belakangan aku tahu dari suamiku, ia ditahan bersama suamiku dengan kasus yang sama, namun nasibnya lebih aneh..saat bertemu mabahits, dia bersama seorang temannya sedang ingin berkunjung ke rumah teman mereka di Nasr city, visa mereka masih ada, tapi karena saat bertemu mabahits mereka sedang tidak memegang paspor, otomatis tidak bisa dibuktikan, dan karena itulah mereka di tahan, sesaat setelah dibawa, mereka sempat menghubungi teman yang ingin mereka kunjungi, dan jadilah malam itu sang teman berhasil menemukan mereka, sebuah berkah juga bagi suamiku, iapun akhirnya bisa menghubungi temannya) dari sinilah kami tahu suamiku sekarang sedang berada di maktab syurthoh (kantor polisi) di daerah Abbas ‘Aqqad, sekilas aku sempat protes kenapa suamiku tidak langsung menghubungiku, tapi teman yang menghubungiku menenangkan dengan mengatakan, sengaja suamiku tidak menghubungiku karena tidak ingin membuat emosiku terganggu, dan itu akan memakan waktu, padahal waktunya terbatas, mereka sangat dijaga ketika berinteraksi dengan orang luar, dan mengapa suamiku menghubungi kinana, karena disanalah komunitas teman-teman dekatnya saat itu (suamiku membuka usaha warnet bersama) dan no.telpon kinana lah yang paling ia hapal.
Alhamdulillah…aku jadi lebih tenang, sekitar jam 3 dinihari, hp ku kembali berbunyi… suara di sebrang sana membuatku tak sanggup menahan tangis yang sempat terhenti, lewat hp abu nabil suamiku sibuk menenangkanku, rupanya teman-teman kinana bersama abu nabil sedang mengunjungi suamiku untuk mengetahui kabar sekalian membawakan makanan sahur, hari itu adalah hari terakhir bulan Ramadhan. Mengetahui suamiku baik2 saja membuatku mendapat semangat untuk makan sahur buat bekal puasa hari itu.
Tak sabar menunggu siang,aku sudah menyiapkan apa saja yang ingin ku bawa untuk suamiku di tahanan (adikku yang menyarankan ini, pikiranku benar-benar blank dan tidak tahu harus berbuat apa) kaos kaki, sarung dan beberapa pakaian tebal pun ku masukkan tas, sedih rasanya mengingat suamiku saat itu hanya memakai jaket tipis, peci dan kaos kaki tipis (itulah yang dipakainya saat pergi ke musholla), padahal sedang musim dingin, terbayang suasana sel yang sangat tidak mendukung di musim dingin. (saat ini aku bisa membayangkan perasaan para istri yang suaminya sedang dalam tahanan…sabar ya bu)
Akhirnya siang datang…dengan penuh harapan, aku ditemani adik dan seorang teman dari KMKM (keluarga mahasiswa Kalimantan mesir, salah satu organisasi kekeluargaan perdaerah) mendatangi kantor polisi abbas ‘aqqad, namun singkat cerita…entah bagaimana proses izin pertemuan tersebut (karena aku dan adikku memang hanya menunggu diluar, sementara teman dari KMKM itulah yang mengusahakan izinnya) setelah beberapa jam menunggu, tanpa alasan dan keterangan yang jelas, kami pulang tanpa hasil, harapan bertemu suamiku dan memastikan sendiri keadaannya baik-baik saja pun gagal..akhirnya aku pasrah, dengan keyakinan ada Dia yang menjaga suamiku dan tidak akan menyia-nyiakan harapan hambaNya membuatku berusaha tegar, menunggu kabar dan perkembangan selanjutnya (dari cerita suamiku kemudian baru ku tahu, saat itu ia sedang dipindahkan ke rumah tahanan di sebrang kampus al azhar putri di hayy sabi’, bersama kriminil-kriminil lain, mereka diangkut menggunakan mobil tahanan berwarna biru…mobil yang seringkali kami lihat melintas dijalan..tak terbayangkan ternyata suamiku termasuk diantara orang yang mendapat ‘kesempatan’ merasakan naik mobil itu, sering kami heran melihat tahanan-tahanan yang ada didalamnya melongok lewat jendelanya yang kecil lagi ber teralis, apa mereka tidak malu menampakkan wajahnya dihadapan orang?? ternyata udara panas dan pengap didalam mobil itulah yang membuat mereka justru saling berebut mencari udara segar melalui jendela, kasihan suamiku…).
Siang berlalu…ifthor (buka puasa) pun datang..tak berapa lama, takbir kerkumandang..pemerintah mesir mengumumkan, bahwa 1 syawal telah datang..Idul fitri tanpa suami? Hanya aku dan zaid yang masih dalam perut. yang ada, betapa menyedihkan, tambah pilu mengingat nasib suamiku yang entah bisa ikut merayakannya atau tidak. Ya Allah jagalah suamiku, aku yakin seyakin-yakinnya, Kau selalu bersamanya.
Allah memang maha penyayang kepada hambaNya yang berserah diri, doa dan harapanku di ijabahNya, malam itu suamiku menelpon, insyaAllah malam itu juga ia akan pulang, ia dibebaskan dan akan secepatnya kembali ke rumah…terima kasih ya Allah, ‘maka nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan??’ ,seorang teman dekatku –yang sejak berangkat ke mesir hingga hari itu- tetap setia menemani dalam suka dan duka, ia yang saat itu berada disampingku, menjadi saksi betapa tak tergambarkan suka cita yang ku rasakan.
Jam 11 malam waktu kairo (kalo ga salah), salam suamiku yang khas muncul di depan pintu rumah kami -yang memang sengaja ku buka lebar-lebar- (aku tak takut pintu terbuka walaupun sudah tengah malam, karena memang masih ada beberapa teman yang juga sengaja menunggu ketika tahu suamiku akan pulang malam itu). Nikmat itu benar-benar nyata, karunia dan anugerah yang mungkin sering aku lengah dengan keberadaannya, (“manfa’atkanlah kebersamaan yang kau punya dengan orang-orang yang kau sayang, karena kau tak pernah tahu, kapan nikmat itu Ia ambil kembali”)…
Tak nampak raut sedih ataupun penyesalan pada diri suamiku, ia tahu dan yakin, inilah scenario Allah yang harus ia lewati, dengan penuh rasa syukur..ia berterima kasih kepada semuanya, atas perhatian dan dukungan yang ada. Aku hanya tak mengerti…hukum mesir yang menganut ‘asas praduga bersalah’ (seseorang langsung dinyatakan bersalah ketika terlihat melanggar hukum, masalah pembuktian bahwa ternyata dia tidak bersalah, itu urusan belakangan, yang penting tahan dulu) menurutku benar-benar merugikan, karena nya suamiku jadi punya pengalaman aneh, diborgol berdua dengan seorang tahanan berkulit hitam, kemana-mana terpaksa harus berdua, bahkan ke kamar kecil tahanan yang kondisinya sangat memprihatinkan, tanpa pintu.
Ala kulli haal, tak ada takdir Allah yang sia-sia, setiap pengalaman seburuk dan sepahit apapun, selalu dapat di jadikan ibroh dan renungan. Sungguh ini tak sebanding dengan derita dan jalan hidupnya mereka para salafush sholeh yang keluar masuk penjara demi menegakkan yang hak, Imam Ahmad yang rela dicambuk dan di siksa di dalam penjara demi mempertahankan keyakinannya bahwa al qur’an adalah kalamulloh, bukan makhluk. Semakin tinggi pengakuan seseorang atas cintanya pada robbnya, semakin sering pula Allah akan mengujinya, itulah tanda pembuktian cinta, tinggal kita yang memilih, tetap ingin membuktikan, atau menyerah berbalik arah. Ya Allah, tetapkanlah hati kami, dalam menggapai cinta dan ridhoMu.
Pesan singkat untuk mereka para pemegang kendali hukum…tolong pertimbangkan hukum-hukum yang ‘aneh-aneh’, agar di perjelas dan tidak lagi membuat orang ter ‘aneh-aneh’.
Kepada semua pihak yang ‘terlibat’ di dalam tulisan ini, ana ucapkan jazakumulloh khoir, hanya Allah yang bisa membalas semua support dan care kalian. Semoga kita bisa selalu mengambil pelajaran dari setiap episode jalan hidup kita.
Minggu, 13 Desember 2009
KU CINTA KAU KARENA ALLOH
Bismilläh...
Kucinta kau karena Alloh,karena ku ingin mendapat naunganNYA pada hari kiamat nanti...
Kucinta kau karena Alloh, karena ku ingin mimbar2 dari cahaya,sehngga membuat cemburu para Nabi dan syuhada...
Kucinta kau karena Alloh, karena Alloh menjanjikan keberuntungan,menyenangkan jalanku dan sebuah rumah di surga...
Kucinta kau karena Alloh, karena Alloh menjanjikan cinta untukku...
-catatan seorang istri, he is sleeping... Ya Alloh, jika Kau berkenan izinkan aku tetap mencintainya karenaMU hingga akhir hayatku-
Kucinta kau karena Alloh,karena ku ingin mendapat naunganNYA pada hari kiamat nanti...
Kucinta kau karena Alloh, karena ku ingin mimbar2 dari cahaya,sehngga membuat cemburu para Nabi dan syuhada...
Kucinta kau karena Alloh, karena Alloh menjanjikan keberuntungan,menyenangkan jalanku dan sebuah rumah di surga...
Kucinta kau karena Alloh, karena Alloh menjanjikan cinta untukku...
-catatan seorang istri, he is sleeping... Ya Alloh, jika Kau berkenan izinkan aku tetap mencintainya karenaMU hingga akhir hayatku-
IM NOBODY
Bismilläh...
Ade g pintar...
Jawabnya:tapi kakak senang krn ade semangat buat belajar
ade gbisa masak
jawabnya:pasti bisa selama mau belajar,kk senang apapun masakan ade
ade g kerja,g membntu financial keluarga
jawabny:cari uang kewajiban kk,ade urusin anak2,rumah,keluarga aja kk senang
ade perfectionis,agak pemarah
jawabnya:gpapa nt kk rayu biar g marah
cinta ade berkurang,gmana?
Jawabnya:cinta kakak mah g berkurang
ade...
Jawabnya:...
Ya Alloh...Ampuni aku sekiranya bnyak menafikkan kebaikannya,beri petnjuk padaku,jgn KAU buat aku msuk neraka krn ini...
Ya Alloh.. Sungguh mulia dan bijaksana makhlukMu yg 1 ini.
Kita kan jauh,ga saling tau,kk gtau lampung,gtau ana
jawabnya:gpapa, kan ada ALLOH...
Abinya zaid...I love u...
Ade g pintar...
Jawabnya:tapi kakak senang krn ade semangat buat belajar
ade gbisa masak
jawabnya:pasti bisa selama mau belajar,kk senang apapun masakan ade
ade g kerja,g membntu financial keluarga
jawabny:cari uang kewajiban kk,ade urusin anak2,rumah,keluarga aja kk senang
ade perfectionis,agak pemarah
jawabnya:gpapa nt kk rayu biar g marah
cinta ade berkurang,gmana?
Jawabnya:cinta kakak mah g berkurang
ade...
Jawabnya:...
Ya Alloh...Ampuni aku sekiranya bnyak menafikkan kebaikannya,beri petnjuk padaku,jgn KAU buat aku msuk neraka krn ini...
Ya Alloh.. Sungguh mulia dan bijaksana makhlukMu yg 1 ini.
Kita kan jauh,ga saling tau,kk gtau lampung,gtau ana
jawabnya:gpapa, kan ada ALLOH...
Abinya zaid...I love u...
Jumat, 11 Desember 2009
ZAHRA NAZEEHA PUTRI AYUDIA
Bismillah...
27 Oktober 2009.... lahirlah anak kedua saya, Zahra Nazeeha Putri Ayudia. Bahagia rasanya ternyata dia lahir sesuai dengan yang kami inginkan. Seharusnya HPL (hari perkiraan lahir) nya 22 Oktober. Dokter sudah memberikan waktu sampai tanggal 29 Oktober, kalau tidak lahir berarti harus ‘dipaksa keluar’. Waah sudah deg2an, takut kalo membayangkan caesar....Alhamdulillah tanggal 27 hari selasa jam 4 sore di RSB Astana Anyar, lahir juga bidadari kecil kami... dengan berat 2900 gram dan panjang 48 cm.
Zahra Nazeeha Putri Ayudia...Zahra, diambil dari seorang putri Rasul dan juga berarti bunga. Nazeeha yang berarti yangjujur,adil,bersih,yang terjaga,suci, yang mulia/lurus hati. Putri Ayudia, maksudnya anak perempuan dari a’ Yudi dan Dian hehehe... Sebenarnya saya hanya ingin menamainya Nazeeha, tapi abinya ingin Zahra, biar sama2 “Z” dengan Zaid (anak pertama saya). Putri Ayudia dari mertua (dan keinginan saya dulu juga sih hehe..)
Empat hari setelah dia lahir, qadarullah dia harus diterapi sinar karena bilirubin nya tinggi (hiperbilirubin),sebenarnya saya ingin dijemur saja dirumah, tetapi dokter bilang mesti di sinar. Puufff....Jadi saya mesti menjaganya sendiri di RSB Astana Anyar. Saya baru melahirkan tetapi mesti menjaga sendiri Zahra..Ya Alloh alhamdulillah dimudahkan...Tepat 3 hari di RS, hari ke-7 kelahirannya Zahra pulang,dirumah sudah menanti keluarga dari Lampung dan kambing...Alhamdulillah ada rezeki buat aqiqah Zahra...
Sambil nulis dia ada dipangkuan saya, tertidur soalnya klo saya tarok di tempat tidur, dia pasti bangun.....Saya mohon kepada Allah untuk memudahkan mendidiknya menjadi anak yang solehah dan ia selalu mendapat hidayah dari Alloh untuk menjadi orang yang berguna dan beriman dalam Islam serta di jalan salafussaleh...amiin...
Baarokallahu laka filmauhuubi laka wasyakartal waahiba wabalgho asyuddahu waruziqta barrohu...(semoga Alloh memberkahimu dalam pemberian untukmu dan engkau bersyukur kepada yang memberi sehingga ia dewasa dan engkau di anugrahi dengan kebaikannya)
Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wadzurriyyaatinaa qurota a’yun waj’alnaa lilmuttaqiina imaamaa...
KUE CUBIT
Bismillaah...
Beginilah kalo ga bisa masak ya, resep yang menurut orang sederhana ini aja minta kasih tau orang lain hehe... maklum,waktu gadis ga pernah masak..karena sibuk kuliah sambil kerja. Lagi pula dah ada yang jago masak, jadi deh masakan saya ga ‘kepake’ hehe..-i love u mom-
Resep ini dikasih sama seorang ummahat yang saya kenal lewat facebook (mbak Gemala Nuriah-yang kebetulan nama anaknya juga Zaid n Zahra..Subhanallah...)
Jazakillah ya ukhti...*smile*
Bahan-bahannya kata mbak Gemala ga sampe 10.000,tapi bisa jadi 50 an kue gitu. Ini nih bahan2nya:
1. terigu 2 ons
2. gula pasir 1,5 ons
3. fermipan 1 sdt
4. vanilli 1 bks
5. telur 1 butir
6. susu kental manis putih 2 sachet
7. blue band 2 sdm-cairkan
8. air hangat secukupnya
9. meises untuk taburan
Cara buatnya:
-bahan2 no 1-4 diaduk rata
-masukkan bahan2 no 5-8,untuk mentega,masukkan dalam keadaaan panas2. lalu aduk2 dengan tangan (jangan lupa cuci tangan dulu ya) hehe
-aduk2 hingga menjadi adonan yang kental
-tutup dengan serbet bersih,jemur di bawah sinar matahari selema kurang lebih 2 jam
-cetak deh....
Nah gitu,mudah kan? Ga perlu di oven/bakar. Kalo sudah dicetak tinggal dimakan,tapi sebelum dicetak ditaburi meises dulu ya...
Kalo misal ga ada panas, kata mbak Gemala bisa juga tarok di atas magic com yang lagi on. Tapi di atasnya ya,hati2 juga,jangan sampai tumpah.
Info lagi,kemarin saya beli cetakannya yang bulat2 harganya 12.000. ada berapa lubang ya?agak lupa hehe...
selamat mencoba ya...
Beginilah kalo ga bisa masak ya, resep yang menurut orang sederhana ini aja minta kasih tau orang lain hehe... maklum,waktu gadis ga pernah masak..karena sibuk kuliah sambil kerja. Lagi pula dah ada yang jago masak, jadi deh masakan saya ga ‘kepake’ hehe..-i love u mom-
Resep ini dikasih sama seorang ummahat yang saya kenal lewat facebook (mbak Gemala Nuriah-yang kebetulan nama anaknya juga Zaid n Zahra..Subhanallah...)
Jazakillah ya ukhti...*smile*
Bahan-bahannya kata mbak Gemala ga sampe 10.000,tapi bisa jadi 50 an kue gitu. Ini nih bahan2nya:
1. terigu 2 ons
2. gula pasir 1,5 ons
3. fermipan 1 sdt
4. vanilli 1 bks
5. telur 1 butir
6. susu kental manis putih 2 sachet
7. blue band 2 sdm-cairkan
8. air hangat secukupnya
9. meises untuk taburan
Cara buatnya:
-bahan2 no 1-4 diaduk rata
-masukkan bahan2 no 5-8,untuk mentega,masukkan dalam keadaaan panas2. lalu aduk2 dengan tangan (jangan lupa cuci tangan dulu ya) hehe
-aduk2 hingga menjadi adonan yang kental
-tutup dengan serbet bersih,jemur di bawah sinar matahari selema kurang lebih 2 jam
-cetak deh....
Nah gitu,mudah kan? Ga perlu di oven/bakar. Kalo sudah dicetak tinggal dimakan,tapi sebelum dicetak ditaburi meises dulu ya...
Kalo misal ga ada panas, kata mbak Gemala bisa juga tarok di atas magic com yang lagi on. Tapi di atasnya ya,hati2 juga,jangan sampai tumpah.
Info lagi,kemarin saya beli cetakannya yang bulat2 harganya 12.000. ada berapa lubang ya?agak lupa hehe...
selamat mencoba ya...
Kamis, 03 Desember 2009
KEDUDUKAN SEORANG IBU
BISMILLAH...
enulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Dalam Tanzil-Nya yang mulia, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.“ (Luqman: 14)
Di tempat lain, Dia Yang Maha Suci berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya dengan menyapihnya adalah tiga puluh bulan….” (Al-Ahqaf: 15)
Dua ayat yang mulia di atas berisi perintah berbakti kepada orangtua sebagai suatu kewajiban dalam agama yang mulia ini. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla menggandengkan perintah berbakti ini dengan perintah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Seperti dalam ayat:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatupun serta berbuatbaiklah kepada kedua orang tua.“ (An-Nisa`:36)
Ayah dan ibu berserikat dalam hal memiliki hak terhadap anaknya untuk memperoleh bakti. Hanya saja ibu memiliki bagian dan porsi yang lebih besar dalam hal beroleh bakti. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya oleh seorang sahabatnya:
يا رسول الله من أحق الناس بحسن صحابتي؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال أمك. قال: ثم من؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال: أبوك
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata menukilkan ucapan Ibnu Baththal rahimahullahu, “Kandungan hadits ini adalah seorang ibu memiliki hak untuk mendapatkan kebaikan yang disebutkan tiga kali daripada hak seorang ayah.” Ibnu Baththal juga mengatakan, “Yang demikian itu diperoleh karena kesulitan yang didapatkan saat mengandung, kemudian melahirkan lalu menyusui. Tiga perkara itu dialami sendiri oleh seorang ibu dan ia merasakan kepayahan karenanya. Kemudian ibu menyertai ayah dalam memberikan tarbiyah (pendidikan kepada anak). Isyarat akan hal ini terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.“ (Luqman: 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyamakan antara ayah dan ibu dalam mendapatkan bakti, dan Dia mengkhususkan ibu dalam tiga perkara (mengandung, melahirkan dan menyusui).” (Fathul Bari, 10/493)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini ada hasungan untuk berbuat baik kepada kerabat[1]. Ibu adalah yang paling berhak mendapatkan bakti di antara kerabat yang ada, kemudian ayah, kemudian kerabat yang terdekat. Ulama berkata, ‘Sesbab didahulukannya ibu adalah karena banyaknya kepayahan yang dialaminya dalam mengurusi anak. Di samping karena besarnya kasih sayangnya, pelayanannya, kepayahan yang dialaminya saat mengandung si anak, kemudian saat melahirkannya, menyusuinya, mendidiknya, melayaninya, mengurusi/merawatnya tatkala sakit dan selainnya’.” (Al-Minhaj, 16/318)
Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya terhadap surat Al-Ahqaf ayat 15, “Ini merupakan kelembutan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya dan kesyukuran-Nya kepada kedua orangtua. Di mana Dia mewasiatkan kepada anak-anak agar berbuat baik kepada kedua orangtua dengan menunjukkan kepada keduanya perkataan yang lembut, kalimat yang lunak/halus, memberikan harta dan nafkah serta sisi-sisi kebaikan lainnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan peringatan dengan menyebutkan sebab seorang anak harus berbuat baik kepada orangtuanya. Dia menyebutkan kesulitan-kesulitan yang ditanggung/dipikul oleh seorang ibu saat mengandung anaknya, kemudian kesulitan yang besar saat melahirkannya, lalu kepayahan menyusuinya dan memberikan pelayanan dalam mengasuhnya. Kesulitan dan kepayahan yang disebutkan ini dihadapi bukan dalam masa yang pendek/singkat, sejam atau dua jam. Tapi dihadapi dalam kadar masa yang panjang “tiga puluh bulan”, masa kehamilan selama sembilan bulan atau sekitarnya dan waktu yang tersisa untuk masa penyusuan. Ini yang umum terjadi. Ayat ini dengar firman-Nya:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Dan para ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna.” (Al-Baqarah: 233)
dijadikan sebagai dalil untuk menyatakan bahwa minimal masa kehamilan itu enam bulan. Karena masa menyusui (sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat di atas, pent.) lamanya dua tahun (24 bulan, pent.). Bila diambil dua tahun (24 bulan) dari masa 30 bulan maka tersisalah enam bulan sebagai masa kehamilan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 781)
Dari ayat, hadits dan penjelasan di atas tampaklah bagi kita peran agung seorang ibu. Ia telah mengandung anaknya selama sembilan bulan lebih beberapa hari, dengan kepayahan, keberatan, dan kesulitan. Tiba saat melahirkan, ia pun berjuang menghadapi maut. Sakit yang sangat pun dialaminya untuk mengeluarkan buah hatinya ke dunia. Tidak sampai di situ, setelah si anak lahir dengan penuh kasih disusunya kapan saja si anak membutuhkan. Tak peduli siang ataupun malam sehingga harus menyita waktu istirahatnya. Kelelahan demi kelelahan dilewatinya dengan penuh kesabaran dan lapang dada, demi sang permata hati …
Demikianlah. Sehingga pantaslah syariat yang suci ini memberinya pemuliaan dengan memerintahkan anak agar berbakti kepadanya, selain berbakti kepada sang ayah. Bakti ini terus diberikan sampai akhir hayat keduanya. Bahkan juga sepeninggal keduanya, dengan menyambung silaturahim dan berbuat baik kepada sahabat/orang-orang yang dikasihi keduanya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ البِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ
“Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya.” (HR. Muslim no. 6461)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan hadits di atas dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam mencontohkan pengamalan hadits ini dengan perbuatannya. Disebutkan, ada seorang Arab gunung bertemu Abdullah di jalanan di Makkah. Abdullah mengucapkan salam kepadanya, lalu menyerahkan keledai yang ditungganginya agar dinaiki oleh orang tersebut dan memberinya sorban yang semula dipakainya. Ibnu Dinar, seorang perawi hadits ini bertanya kepada Abdullah, “Semoga Allah memperbaikimu! Mereka itu orang gunung (A’rab) dan mereka sudah cukup senang dengan pemberian yang sedikit.” Abdullah berkata menjelaskan sebab ia berbuat demikian kepada si A’rabi, “Ayah orang Arab gunung itu dulunya sahabat yang dikasihi oleh ‘Umar ibnul Khaththab. Sementara aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya‘.” (HR. Muslim no. 6460)
Satu lagi atsar yang menunjukkan keutamaan berbakti kepada ibu. Diriwayatkan dari ‘Atha` bin Yasar, dari Ibnu ‘Abbas seraya berkata, “Aku telah meminang seorang wanita, namun wanita itu menolak untuk menikah denganku. Kemudian ada lelaki lain yang meminangnya dan ternyata ia senang menikah dengan lelaki tersebut. Aku pun cemburu hingga membawaku membunuh wanita tersebut. Lalu, adakah taubat untukku?” Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?”
“Tidak,” jawab lelaki tersebut.
“Bertaubatlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan taqarrub-lah (mendekat dengan melakukan amal shalih) kepada-Nya semampumu.”
‘Atha` bin Yasar berkata, “Aku pergi lalu bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Kenama engkau menanyakan tentang kehidupan ibunya (masih hidup atau tidak)?’.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “Sungguh aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla daripada berbakti kepada ibu.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad dan dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 2799)
Karena berbakti kepada orangtua–khususnya ibu yang sedang menjadi pembicaraan kita–telah diperintahkan oleh agama Islam, maka kita tidak membutuhkan perayaah Hari Ibu untuk mengenang jasa-jasa seorang ibu dan menjadikannya sebagai momen untuk memberi hadiah-hadiah kepada ibu. Atau memberikan perhatian khusus kepadanya dan meng-’istirahat’-kannya dari pekerjaan pada hari tersebut. Seorang anak, dalam Islam, harus berbuat baik kepada ibunya kapan pun. Di setiap waktu dan di setiap keadaan tanpa menunggu datangnya Hari Ibu yang justru merupakan suatu perayaan yang diada-adakan tanpa perintah dari agama. Bahkan semata taklid kepada budaya Barat yang memang tidak mengenal istilah ‘berbakti kepada orangtua’ dalam budaya mereka.
Contoh Anak yang Berbakti
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai seorang yang berbakti kepada ibunya dan tidak melupakan untuk meminta ampun bagi ibunya bila ia beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Muhammad bin Sirin rahimahullahu berkata, “Kami sedang berada di sisi Abu Hurairah pada suatu malam. Saat itu Abu Hurairah berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah Abu Hurairah dan ibuku, serta ampunilah orang yang memintakan ampun untuk Abu Hurairah dan ibunya’.” Muhammad berkata, “Maka kami pun memintakan ampun untuk keduanya agar kami dapat masuk dalam doa Abu Hurairah.” (Diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad no. 37 dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad)
Sebelumnya, ibu Abu Hurairah enggan masuk Islam, Abu Hurairah berkisah, “Aku mengajak ibuku yang masih musyrik untuk masuk Islam. Suatu hari aku mendakwahinya maka ia memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku mengajak ibuku masuk Islam namun ia menolak. Suatu hari aku mendakwahinya, namun ia memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentangmu. Maka doakanlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdoa:
اللَّهُمَّ اهْدِ أُمُّ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
“Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu Abu Hurairah.”
Aku pun keluar dalam keadaan gembira dengan doa Nabiullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika tiba di rumah, aku menuju pintu yang ternyata sedang tertutup. Ibuku mendengar suara gesekan dua telapak kakiku di tanah, maka ia berkata, “Tetaplah di tempatmu, wahai Abu Hurairah.” Aku mendengar suara gerakan/percikan air. Ternyata ibuku mandi, lalu mengenakan pakaian dan kerudungnya. Setelahnya ia membuka pintu, kemudian berkata, “Wahai Abu Hurairah! Aku bersaksi Laa ilaaha ilallah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.” Aku pun kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menangis karena bahagia. Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Bergembiralah, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan doamu dan memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” Beliau pun memuji Allah ‘Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya. (HR. Muslim no. 6346)
Ada lagi seorang tokoh tabi’in yang dikenal sangat berbakti kepada ibunya. Dia adalah Uwais Al-Qarani rahimahullahu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentangnya kepada ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Suatu saat nanti akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama rombongan pasukan penduduk Yaman. Dia berasal dari kabilah Murad, dari Qaran. Dulu dua terkena penyakit belang, lalu dia disembuhkan dari penyakitnya itu, kecuali sebesar dirham di pusarnya. Dia memiliki seorang ibu dan sangat berbakti kepadanya. Kalau dia bersumpah kepada Allah, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala kabulkan sumpahnya. Kalau engkau bisa memintanya agar memohonkan ampun untukmu maka lakukanlah[2].” (HR. Muslim no. 6439)
Haramnya Durhaka kepada Ibu
Perintah berbakti kepada ibu telah jelas bagi kita. Kebalikan dari berbakti adalah berbuat durhaka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan durhaka ini, dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الأُمَّهَاتِ…
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi kalian berbuat durhaka kepada para ibu ….” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 4457)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Durhaka kepada ibu adalah haram dan termasuk dosa besar, menurut kesepakatan para ulama. Betapa banyak hadits shahih yang memasukkannya ke dalam dosa besar. Demikian pula berbuat durhaka kepada ayah termasuk dosa besar. Dalam hadits ini dibatasi penyebutan durhaka kepada ibu (tanpa menyebutkan durhaka kepada ayah) karena kehormatan mereka (para ibu) lebih ditekankan daripada ayah. Karenanya, ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang siapakah yang paling berhak mendapatkan kebaikannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ibumu kemudian ibumu”, sebanyak tiga kali. Setelah itu, pada kali yang keempat beliau baru menyebutkan, “Kemudian ayahmu.” Juga karena kebanyakan perbuatan durhaka dari anak diterima/dirasakan oleh para ibu.” (Al Minhaj, 11/238)
Taat Hanya dalam Perkara yang Selain Dosa dan Maksiat
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa telah turun beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan dirinya. Ia berkisah bahwa Ummu Sa’d (yakni ibunya) bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selama-lamanya sampai ia mau meninggalkan agama Islam. Dia juga bersumpah tidak akan makan dan minum. Si ibu berkata, “Engkau mengaku bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mewasiatkanmu untuk berbakti kepada kedua orangtuamu. Sementara aku adalah ibumu dan aku memerintahkanmu untuk meninggalkan agama baru yang engkau anut.” Sa’d berkata, “Ibuku melewati tiga hari dengam melaksanakan sumpahnya untuk tidak makan dan minum, hingga ia jatuh pingsan karena kepayahan yang dideritanya. Maka bangkitlah putranya yang bernama Umarah lalu memberinya minum. Mulailah si ibu mendoakan kejelekan untuk Sa’d. Allah ‘Azza wa Jalla pun menurunkan dalam Al-Qur’an, ayat berikut:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ?
“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya.“ (Al-Ankabut: 8)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي
“Namun bila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku….”
Dalam ayat tersebut dinyatakan:
فَلَا تُطِعْهُمَا ? وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ?
“Maka janganlah engkau menaati keduanya dan bergaullah kepada keduanya di dunia dengan ma’ruf.“ (Luqman: 15) (HR. Muslim no. 6188)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي الْمَعْصِيَةِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7257 dan Muslim no. 4742)
Bolehnya Menyambung Hubungan dengan Ibu yang Musyrik
Dibolehkan bagi seorang anak untuk tetap menjaga hubungan baik dengan ibunya yang berbeda agama dengannya alias kafir. Karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ? إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى? إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ? وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَـ?ئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu orang lain untuk mengusir kalian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim.“ (Al-Mumtahanah: 8-9)
Asma’ bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma berkata:
قَدِمْتُ عَلَيَّ أُمِّيْ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قُلْتُ: إِنَّ أُمِّي قّدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِيْ أُمَّكِ
“Ibuku datang menemuiku dalam keadaan ia masih musyrikah di masa perjanjian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (dengan kafir Quraisy). Aku pun meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata, “Ibuku datang menemuiku untuk meminta baktiku kepadanya dalam keadaan mengharap kebaikan putrinya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Iya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari no. 2620 dan Muslim no. 2322)
Lalu bila timbul pertanyaan, bagaimana dengan ayat Allah ‘Azza wa Jalla yang menyatakan:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.“ (Al-Mujadilah: 22)
Juga ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ ? وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَـ?ئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai kekasih, jika mereka lebih mencintai/mengutamakan kekafiran daripada keimanan. Dan siapa di antara kalian yang berloyalitas dengan mereka maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.“ (At-Taubah: 23)
Maka dijawab, bahwa berbuat baik dan menyambung hubungan tidak mengharuskan adanya rasa saling cinta. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata dalam tafsir ‘Athiyyah Muhammad Salim dalam kitab pelengkap (Titimmah) Adhwa`ul Bayan (8/154), “Menyambung hubungan dengan memberikan harta, berbuat baik, berlaku adil, berbicara lembut dan surat menyurat, dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah termasuk loyalitas yang terlarang bagi kaum muslimin terhadap orang yang tidak boleh mereka berikan sikap wala` (loyalitas) karena permusuhannya dengan kaum muslimin. Berlaku baik dan adil seperti itu dibolehkan Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak haram untuk dilakukan kepada orang-orang musyrikin yang tidak memusuhi kaum muslimin. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang orang-orang yang menampakkan permusuhan kepada kaum muslimin, kepada mereka ini kita dilarang untuk berloyalitas apabila bentuk loyalitas tersebut selain berbuat baik dan bersikap adil….”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, “Kemudian berbakti, menyambung hubungan dan berbuat baik tidaklah mengharuskan saling cinta dan sayang menyayangi yang dilarang dalam firman-Nya, ‘Engkau tidak akan mendapai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya….’ Karena ayat ini umum mencakup diri orang yang memerangi dan orang yang tidak memerangi.” (Fathul Bari)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
[1] Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
أُمُّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أَبُوْكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
“Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu. Kemudian kerabat yang paling dekat denganmu, dan yang paling dekat denganmu.” (HR. Muslim no. 6448)
[2] Kata Imam An-Nawawi rahimahullahu, “Hadits Uwais ini menunjukkan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua….” (Al-Minhaj, 16/312)
(Sumber: Asy Syariah No. 42/1429 H/2008, halaman 83-88, judul: Kedudukan Seorang Ibu, penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, katagori: Niswah)
enulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Dalam Tanzil-Nya yang mulia, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.“ (Luqman: 14)
Di tempat lain, Dia Yang Maha Suci berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya dengan menyapihnya adalah tiga puluh bulan….” (Al-Ahqaf: 15)
Dua ayat yang mulia di atas berisi perintah berbakti kepada orangtua sebagai suatu kewajiban dalam agama yang mulia ini. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla menggandengkan perintah berbakti ini dengan perintah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Seperti dalam ayat:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatupun serta berbuatbaiklah kepada kedua orang tua.“ (An-Nisa`:36)
Ayah dan ibu berserikat dalam hal memiliki hak terhadap anaknya untuk memperoleh bakti. Hanya saja ibu memiliki bagian dan porsi yang lebih besar dalam hal beroleh bakti. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya oleh seorang sahabatnya:
يا رسول الله من أحق الناس بحسن صحابتي؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال أمك. قال: ثم من؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال: أبوك
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata menukilkan ucapan Ibnu Baththal rahimahullahu, “Kandungan hadits ini adalah seorang ibu memiliki hak untuk mendapatkan kebaikan yang disebutkan tiga kali daripada hak seorang ayah.” Ibnu Baththal juga mengatakan, “Yang demikian itu diperoleh karena kesulitan yang didapatkan saat mengandung, kemudian melahirkan lalu menyusui. Tiga perkara itu dialami sendiri oleh seorang ibu dan ia merasakan kepayahan karenanya. Kemudian ibu menyertai ayah dalam memberikan tarbiyah (pendidikan kepada anak). Isyarat akan hal ini terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.“ (Luqman: 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyamakan antara ayah dan ibu dalam mendapatkan bakti, dan Dia mengkhususkan ibu dalam tiga perkara (mengandung, melahirkan dan menyusui).” (Fathul Bari, 10/493)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini ada hasungan untuk berbuat baik kepada kerabat[1]. Ibu adalah yang paling berhak mendapatkan bakti di antara kerabat yang ada, kemudian ayah, kemudian kerabat yang terdekat. Ulama berkata, ‘Sesbab didahulukannya ibu adalah karena banyaknya kepayahan yang dialaminya dalam mengurusi anak. Di samping karena besarnya kasih sayangnya, pelayanannya, kepayahan yang dialaminya saat mengandung si anak, kemudian saat melahirkannya, menyusuinya, mendidiknya, melayaninya, mengurusi/merawatnya tatkala sakit dan selainnya’.” (Al-Minhaj, 16/318)
Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya terhadap surat Al-Ahqaf ayat 15, “Ini merupakan kelembutan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya dan kesyukuran-Nya kepada kedua orangtua. Di mana Dia mewasiatkan kepada anak-anak agar berbuat baik kepada kedua orangtua dengan menunjukkan kepada keduanya perkataan yang lembut, kalimat yang lunak/halus, memberikan harta dan nafkah serta sisi-sisi kebaikan lainnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan peringatan dengan menyebutkan sebab seorang anak harus berbuat baik kepada orangtuanya. Dia menyebutkan kesulitan-kesulitan yang ditanggung/dipikul oleh seorang ibu saat mengandung anaknya, kemudian kesulitan yang besar saat melahirkannya, lalu kepayahan menyusuinya dan memberikan pelayanan dalam mengasuhnya. Kesulitan dan kepayahan yang disebutkan ini dihadapi bukan dalam masa yang pendek/singkat, sejam atau dua jam. Tapi dihadapi dalam kadar masa yang panjang “tiga puluh bulan”, masa kehamilan selama sembilan bulan atau sekitarnya dan waktu yang tersisa untuk masa penyusuan. Ini yang umum terjadi. Ayat ini dengar firman-Nya:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Dan para ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna.” (Al-Baqarah: 233)
dijadikan sebagai dalil untuk menyatakan bahwa minimal masa kehamilan itu enam bulan. Karena masa menyusui (sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat di atas, pent.) lamanya dua tahun (24 bulan, pent.). Bila diambil dua tahun (24 bulan) dari masa 30 bulan maka tersisalah enam bulan sebagai masa kehamilan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 781)
Dari ayat, hadits dan penjelasan di atas tampaklah bagi kita peran agung seorang ibu. Ia telah mengandung anaknya selama sembilan bulan lebih beberapa hari, dengan kepayahan, keberatan, dan kesulitan. Tiba saat melahirkan, ia pun berjuang menghadapi maut. Sakit yang sangat pun dialaminya untuk mengeluarkan buah hatinya ke dunia. Tidak sampai di situ, setelah si anak lahir dengan penuh kasih disusunya kapan saja si anak membutuhkan. Tak peduli siang ataupun malam sehingga harus menyita waktu istirahatnya. Kelelahan demi kelelahan dilewatinya dengan penuh kesabaran dan lapang dada, demi sang permata hati …
Demikianlah. Sehingga pantaslah syariat yang suci ini memberinya pemuliaan dengan memerintahkan anak agar berbakti kepadanya, selain berbakti kepada sang ayah. Bakti ini terus diberikan sampai akhir hayat keduanya. Bahkan juga sepeninggal keduanya, dengan menyambung silaturahim dan berbuat baik kepada sahabat/orang-orang yang dikasihi keduanya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ البِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ
“Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya.” (HR. Muslim no. 6461)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan hadits di atas dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam mencontohkan pengamalan hadits ini dengan perbuatannya. Disebutkan, ada seorang Arab gunung bertemu Abdullah di jalanan di Makkah. Abdullah mengucapkan salam kepadanya, lalu menyerahkan keledai yang ditungganginya agar dinaiki oleh orang tersebut dan memberinya sorban yang semula dipakainya. Ibnu Dinar, seorang perawi hadits ini bertanya kepada Abdullah, “Semoga Allah memperbaikimu! Mereka itu orang gunung (A’rab) dan mereka sudah cukup senang dengan pemberian yang sedikit.” Abdullah berkata menjelaskan sebab ia berbuat demikian kepada si A’rabi, “Ayah orang Arab gunung itu dulunya sahabat yang dikasihi oleh ‘Umar ibnul Khaththab. Sementara aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya‘.” (HR. Muslim no. 6460)
Satu lagi atsar yang menunjukkan keutamaan berbakti kepada ibu. Diriwayatkan dari ‘Atha` bin Yasar, dari Ibnu ‘Abbas seraya berkata, “Aku telah meminang seorang wanita, namun wanita itu menolak untuk menikah denganku. Kemudian ada lelaki lain yang meminangnya dan ternyata ia senang menikah dengan lelaki tersebut. Aku pun cemburu hingga membawaku membunuh wanita tersebut. Lalu, adakah taubat untukku?” Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?”
“Tidak,” jawab lelaki tersebut.
“Bertaubatlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan taqarrub-lah (mendekat dengan melakukan amal shalih) kepada-Nya semampumu.”
‘Atha` bin Yasar berkata, “Aku pergi lalu bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Kenama engkau menanyakan tentang kehidupan ibunya (masih hidup atau tidak)?’.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “Sungguh aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla daripada berbakti kepada ibu.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad dan dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 2799)
Karena berbakti kepada orangtua–khususnya ibu yang sedang menjadi pembicaraan kita–telah diperintahkan oleh agama Islam, maka kita tidak membutuhkan perayaah Hari Ibu untuk mengenang jasa-jasa seorang ibu dan menjadikannya sebagai momen untuk memberi hadiah-hadiah kepada ibu. Atau memberikan perhatian khusus kepadanya dan meng-’istirahat’-kannya dari pekerjaan pada hari tersebut. Seorang anak, dalam Islam, harus berbuat baik kepada ibunya kapan pun. Di setiap waktu dan di setiap keadaan tanpa menunggu datangnya Hari Ibu yang justru merupakan suatu perayaan yang diada-adakan tanpa perintah dari agama. Bahkan semata taklid kepada budaya Barat yang memang tidak mengenal istilah ‘berbakti kepada orangtua’ dalam budaya mereka.
Contoh Anak yang Berbakti
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai seorang yang berbakti kepada ibunya dan tidak melupakan untuk meminta ampun bagi ibunya bila ia beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Muhammad bin Sirin rahimahullahu berkata, “Kami sedang berada di sisi Abu Hurairah pada suatu malam. Saat itu Abu Hurairah berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah Abu Hurairah dan ibuku, serta ampunilah orang yang memintakan ampun untuk Abu Hurairah dan ibunya’.” Muhammad berkata, “Maka kami pun memintakan ampun untuk keduanya agar kami dapat masuk dalam doa Abu Hurairah.” (Diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad no. 37 dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad)
Sebelumnya, ibu Abu Hurairah enggan masuk Islam, Abu Hurairah berkisah, “Aku mengajak ibuku yang masih musyrik untuk masuk Islam. Suatu hari aku mendakwahinya maka ia memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku mengajak ibuku masuk Islam namun ia menolak. Suatu hari aku mendakwahinya, namun ia memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentangmu. Maka doakanlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdoa:
اللَّهُمَّ اهْدِ أُمُّ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
“Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu Abu Hurairah.”
Aku pun keluar dalam keadaan gembira dengan doa Nabiullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika tiba di rumah, aku menuju pintu yang ternyata sedang tertutup. Ibuku mendengar suara gesekan dua telapak kakiku di tanah, maka ia berkata, “Tetaplah di tempatmu, wahai Abu Hurairah.” Aku mendengar suara gerakan/percikan air. Ternyata ibuku mandi, lalu mengenakan pakaian dan kerudungnya. Setelahnya ia membuka pintu, kemudian berkata, “Wahai Abu Hurairah! Aku bersaksi Laa ilaaha ilallah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.” Aku pun kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menangis karena bahagia. Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Bergembiralah, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan doamu dan memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” Beliau pun memuji Allah ‘Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya. (HR. Muslim no. 6346)
Ada lagi seorang tokoh tabi’in yang dikenal sangat berbakti kepada ibunya. Dia adalah Uwais Al-Qarani rahimahullahu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentangnya kepada ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Suatu saat nanti akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama rombongan pasukan penduduk Yaman. Dia berasal dari kabilah Murad, dari Qaran. Dulu dua terkena penyakit belang, lalu dia disembuhkan dari penyakitnya itu, kecuali sebesar dirham di pusarnya. Dia memiliki seorang ibu dan sangat berbakti kepadanya. Kalau dia bersumpah kepada Allah, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala kabulkan sumpahnya. Kalau engkau bisa memintanya agar memohonkan ampun untukmu maka lakukanlah[2].” (HR. Muslim no. 6439)
Haramnya Durhaka kepada Ibu
Perintah berbakti kepada ibu telah jelas bagi kita. Kebalikan dari berbakti adalah berbuat durhaka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan durhaka ini, dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الأُمَّهَاتِ…
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi kalian berbuat durhaka kepada para ibu ….” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 4457)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Durhaka kepada ibu adalah haram dan termasuk dosa besar, menurut kesepakatan para ulama. Betapa banyak hadits shahih yang memasukkannya ke dalam dosa besar. Demikian pula berbuat durhaka kepada ayah termasuk dosa besar. Dalam hadits ini dibatasi penyebutan durhaka kepada ibu (tanpa menyebutkan durhaka kepada ayah) karena kehormatan mereka (para ibu) lebih ditekankan daripada ayah. Karenanya, ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang siapakah yang paling berhak mendapatkan kebaikannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ibumu kemudian ibumu”, sebanyak tiga kali. Setelah itu, pada kali yang keempat beliau baru menyebutkan, “Kemudian ayahmu.” Juga karena kebanyakan perbuatan durhaka dari anak diterima/dirasakan oleh para ibu.” (Al Minhaj, 11/238)
Taat Hanya dalam Perkara yang Selain Dosa dan Maksiat
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa telah turun beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan dirinya. Ia berkisah bahwa Ummu Sa’d (yakni ibunya) bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selama-lamanya sampai ia mau meninggalkan agama Islam. Dia juga bersumpah tidak akan makan dan minum. Si ibu berkata, “Engkau mengaku bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mewasiatkanmu untuk berbakti kepada kedua orangtuamu. Sementara aku adalah ibumu dan aku memerintahkanmu untuk meninggalkan agama baru yang engkau anut.” Sa’d berkata, “Ibuku melewati tiga hari dengam melaksanakan sumpahnya untuk tidak makan dan minum, hingga ia jatuh pingsan karena kepayahan yang dideritanya. Maka bangkitlah putranya yang bernama Umarah lalu memberinya minum. Mulailah si ibu mendoakan kejelekan untuk Sa’d. Allah ‘Azza wa Jalla pun menurunkan dalam Al-Qur’an, ayat berikut:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ?
“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya.“ (Al-Ankabut: 8)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي
“Namun bila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku….”
Dalam ayat tersebut dinyatakan:
فَلَا تُطِعْهُمَا ? وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ?
“Maka janganlah engkau menaati keduanya dan bergaullah kepada keduanya di dunia dengan ma’ruf.“ (Luqman: 15) (HR. Muslim no. 6188)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي الْمَعْصِيَةِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7257 dan Muslim no. 4742)
Bolehnya Menyambung Hubungan dengan Ibu yang Musyrik
Dibolehkan bagi seorang anak untuk tetap menjaga hubungan baik dengan ibunya yang berbeda agama dengannya alias kafir. Karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ? إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى? إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ? وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَـ?ئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu orang lain untuk mengusir kalian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim.“ (Al-Mumtahanah: 8-9)
Asma’ bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma berkata:
قَدِمْتُ عَلَيَّ أُمِّيْ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قُلْتُ: إِنَّ أُمِّي قّدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِيْ أُمَّكِ
“Ibuku datang menemuiku dalam keadaan ia masih musyrikah di masa perjanjian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (dengan kafir Quraisy). Aku pun meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata, “Ibuku datang menemuiku untuk meminta baktiku kepadanya dalam keadaan mengharap kebaikan putrinya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Iya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari no. 2620 dan Muslim no. 2322)
Lalu bila timbul pertanyaan, bagaimana dengan ayat Allah ‘Azza wa Jalla yang menyatakan:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.“ (Al-Mujadilah: 22)
Juga ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ ? وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَـ?ئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai kekasih, jika mereka lebih mencintai/mengutamakan kekafiran daripada keimanan. Dan siapa di antara kalian yang berloyalitas dengan mereka maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.“ (At-Taubah: 23)
Maka dijawab, bahwa berbuat baik dan menyambung hubungan tidak mengharuskan adanya rasa saling cinta. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata dalam tafsir ‘Athiyyah Muhammad Salim dalam kitab pelengkap (Titimmah) Adhwa`ul Bayan (8/154), “Menyambung hubungan dengan memberikan harta, berbuat baik, berlaku adil, berbicara lembut dan surat menyurat, dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah termasuk loyalitas yang terlarang bagi kaum muslimin terhadap orang yang tidak boleh mereka berikan sikap wala` (loyalitas) karena permusuhannya dengan kaum muslimin. Berlaku baik dan adil seperti itu dibolehkan Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak haram untuk dilakukan kepada orang-orang musyrikin yang tidak memusuhi kaum muslimin. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang orang-orang yang menampakkan permusuhan kepada kaum muslimin, kepada mereka ini kita dilarang untuk berloyalitas apabila bentuk loyalitas tersebut selain berbuat baik dan bersikap adil….”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, “Kemudian berbakti, menyambung hubungan dan berbuat baik tidaklah mengharuskan saling cinta dan sayang menyayangi yang dilarang dalam firman-Nya, ‘Engkau tidak akan mendapai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya….’ Karena ayat ini umum mencakup diri orang yang memerangi dan orang yang tidak memerangi.” (Fathul Bari)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
[1] Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
أُمُّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أَبُوْكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
“Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu. Kemudian kerabat yang paling dekat denganmu, dan yang paling dekat denganmu.” (HR. Muslim no. 6448)
[2] Kata Imam An-Nawawi rahimahullahu, “Hadits Uwais ini menunjukkan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua….” (Al-Minhaj, 16/312)
(Sumber: Asy Syariah No. 42/1429 H/2008, halaman 83-88, judul: Kedudukan Seorang Ibu, penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, katagori: Niswah)
Rabu, 02 Desember 2009
jadi merasa rendah sebagai muslimah???...
Bismillah...
sebenarnya saya orang yang suka menulis (tapi cuma didiary), itu pun aktivitas sebelum menikah...setelah menikah rasanya males untuk menuliskan apapun...tapi semangat dari abi...gapapa nulis apa ajah...belajar hehe...akhirnya dibuatkan lah blog...walaupun ih bisa bermenfaat ga ya...but what ever...sekarang jadi sedikit2 jadi pingin nulis terus..walaua tulisan yang sederhana dan masih banyak copas nya hmm...
semenjak dibuatkan blog sama abinya zaid, jadi deh suka baca2 blog teman juga, yang subhanAllah... isinya bermanfaat sekali dan bahkan walaupun cuma "isi yang sederhana" tapi banyak bisa diambil hikmahnya atawa pelajarannya...lha kalo tulisan saya???... yah what ever lah yang penting kata abinya Zaid, dont stop trying. "more power honey" begitu lah semangatnya.
yah sebenernya juga baca2 blog teman2 yang menggambarkan segala aktivitasnya, kok sepertinya mereka itu orang yang sangat bermanfaat sekali untuk orang2 disekelilingnya...sedangkan saya?apakah saya bisa bermanfaat untuk orang2 disekeliling saya?saya hanya seorang ibu rumah tangga...hei...STOP!
Pernah suatu saat curhat sama abinya...yah ummi tuh bermanfaat untuk abi, Zaid, Zahra...dan orang2 disekeliling ummi, even ummi cuma beraktivitas dirumah. Alhamdulillah kalo memang bisa bermanfaat....Memang seharusnya ga boleh rendah diri, minder mungkin ya???
hei me!remember about hadits Rosul!
"Tidak ada iri kecuali dalam 2 perkara: seseorang yang diberi Al-Kitab oleh Alloh, lalu dia mengamalkannya di ujung malam dan siang, dan seseorang yang diberi harta oleh Alloh, lalu ia mensedekahkannya pada ujung malam dan siang "(HR. Bukhari Muslim)...
Ya Alloh sesungguhnya Kau tidak akan menciptakan sesuatu yang sia2.....semoga aku bisa menjadi muslim, istri, ummi yang bermanfaat untuk orang2 disekelilingku...Amiin...
sebenarnya saya orang yang suka menulis (tapi cuma didiary), itu pun aktivitas sebelum menikah...setelah menikah rasanya males untuk menuliskan apapun...tapi semangat dari abi...gapapa nulis apa ajah...belajar hehe...akhirnya dibuatkan lah blog...walaupun ih bisa bermenfaat ga ya...but what ever...sekarang jadi sedikit2 jadi pingin nulis terus..walaua tulisan yang sederhana dan masih banyak copas nya hmm...
semenjak dibuatkan blog sama abinya zaid, jadi deh suka baca2 blog teman juga, yang subhanAllah... isinya bermanfaat sekali dan bahkan walaupun cuma "isi yang sederhana" tapi banyak bisa diambil hikmahnya atawa pelajarannya...lha kalo tulisan saya???... yah what ever lah yang penting kata abinya Zaid, dont stop trying. "more power honey" begitu lah semangatnya.
yah sebenernya juga baca2 blog teman2 yang menggambarkan segala aktivitasnya, kok sepertinya mereka itu orang yang sangat bermanfaat sekali untuk orang2 disekelilingnya...sedangkan saya?apakah saya bisa bermanfaat untuk orang2 disekeliling saya?saya hanya seorang ibu rumah tangga...hei...STOP!
Pernah suatu saat curhat sama abinya...yah ummi tuh bermanfaat untuk abi, Zaid, Zahra...dan orang2 disekeliling ummi, even ummi cuma beraktivitas dirumah. Alhamdulillah kalo memang bisa bermanfaat....Memang seharusnya ga boleh rendah diri, minder mungkin ya???
hei me!remember about hadits Rosul!
"Tidak ada iri kecuali dalam 2 perkara: seseorang yang diberi Al-Kitab oleh Alloh, lalu dia mengamalkannya di ujung malam dan siang, dan seseorang yang diberi harta oleh Alloh, lalu ia mensedekahkannya pada ujung malam dan siang "(HR. Bukhari Muslim)...
Ya Alloh sesungguhnya Kau tidak akan menciptakan sesuatu yang sia2.....semoga aku bisa menjadi muslim, istri, ummi yang bermanfaat untuk orang2 disekelilingku...Amiin...
Langganan:
Postingan (Atom)