INDAHNYA BERBAGI
Total Tayangan Halaman
Sabtu, 26 Desember 2009
Bolak balik
Ini adalah hari kesekian saya ada di rumah yg belum saya tempati. Rencana insyaALLOH bulan dpan pindahan,tp duka...
Langit tampak mendung. Padahal saya bwa ke2 anak saya,tp sengaja tdi naik angkot..Zaid sbnarny panas kmrn,tp drumah gda siapa2,mamah ke 'lembur'. Jd weh zaid dibwa.
Cerita soal rumah sbnarny blm 100% selesai,tp tetap hrus bsukur. Sudah bisa ditempati,kalo melihat yg msh ngntrak.Benar2 hrus bsyukur dp yg ada,wlw mungkn RSS-sy lbh suka menyebtny dg kecil n sdrhana..
Wah,mg saja rumahny cpt jadi dan berkah..Aamiin
Rabu, 23 Desember 2009
Minggu, 20 Desember 2009
Episode di akhir Ramadhan
Bismillah..
Mencicipi penjara karena satu kejahatan adalah hal yang memalukan, tapi dijebloskan kedalam tahanan sebagai korban suatu ‘hukum yang aneh’ adalah hal yang memilukan, mungkin lebih tepatnya, adalah hal yang perlu di renungkan. Itulah yang terjadi dengan suamiku 7 tahun silam.
Kalau saja kata ‘andai’ bukanlah suatu larangan (karena bisa merupakan bentuk penggugatan terhadap takdir Nya) mungkin kata itulah yang ingin kuucapkan saat itu. ‘andai’ saja siang musim dingin itu suamiku langsung pulang kerumah, tapi tidak, Allah berkehendak lain, selesai sholat ashar di musholla dekat rumah, ia menuju pasar untuk membeli voucher, karena pulsa kami sudah habis, pulangnya…di tengah jalan ia bertemu mabahits (polisi intel Mesir), mereka menanyakan paspornya, dan karena memang paspor suamiku ada di rumah, mereka mengikuti suamiku pulang untuk mengambil paspor. Saat itu aku…(lupa sedang apa, tapi kata suamiku aku sedang menyetrika) suamiku masuk dengan salamnya…ku sambut dengan agak kaget ketika mendengar ia mengatakan bahwa ia datang dengan mabahits (kata mabahits memang agak menakutkan ditelinga kami, mahasiswa Indonesia), suamiku mengambil paspornya kemudian menemui intel tersebut, tidak berapa lama ia kembali masuk kerumah dan mengatakan bahwa akan pergi bersama mabahits ke kantor imigrasi untuk mengurus visanya.(masa izin tinggal suamiku memang sudah habis,namun saat itu ia sedang dalam proses perpanjangan visa, karena suamiku sudah lulus kuliah di al azhar, otomatis surat keterangan pelajar yang bisa dijadikan jaminan untuk memperpanjang visa tidak bisa ia dapat, dan ia pun menempuh jalur ‘tabi’ atau status ‘ikut istri’, karena aku masih terdaftar sebagai pelajar) Akupun melepas suamiku tanpa prasangka sedikitpun.
Selang beberapa jam kemudian, Abu Nabil, seorang staf local KBRI yang bertugas di bagian athan (atase pertahanan), -kebetulan beliau berasal dari satu daerah dengan kami, dan lumayan akrab-, beliau menelpon menanyakan suamiku, sekali lagi, tanpa prasangka sedikitpun, ku ceritakan apa adanya, bahwa suamiku sedang ke kantor imigrasi bersama mabahits, sampai ku tutup telpon, aku masih tak menduga apapun.
Sampai akhirnya, seorang teman dekat suamiku menelpon, menanyakan bersama siapa aku dirumah, ia juga bertanya kronologis suamiku pergi dibawa mabahits…(teman ini mungkin memang tak sepandai abu nabil yang bisa berusaha netral dan tidak memicu emosiku)..akupun mulai dihinggapi curiga..dari mana ia tahu suamiku dibawa mabahaits??..dan tanpa sadar akupun menangis..bayangan-bayangan buruk mulai berkelebat dibenakku..tak kudengar lagi ucapan teman tadi yang mengatakan akan meminta beberapa teman putri untuk menemaniku di rumah.
Entah siapa yang kemudian muncul lebih dulu…satu persatu teman-teman dekatku datang, mereka menghibur dan berusaha menyabarkanku, aku tak ingat lagi apapun,yang ku ingat saat itu cuma…betapa aku ingin tahu, kemana suamiku mereka bawa? bagaimana keadaannya sekarang? terbayang cerita seram orang-orang tentang polisi mesir yang temperamen, ya Allah..lindungilah suamiku..airmataku terus mengalir, sejenak ucapan adikku -agar aku bisa mengontrol emosi, karena kasihan zaid yang saat itu sudah berusia 7 bulan didalam perutku- menyentakkanku, tapi tidak lama...kesadaran bahwa ada si kecil yang juga menyertaiku dalam kecemasan terhadap nasib ayahnya, membuatku semakin sedih dan pilu…akhirnya ku kelelahan, dan tertidur dalam tangis, malam itu ku lalui dengan hati tak menentu, mengingat tak satupun dari kami, mengetahui dimana rimbanya suamiku, termasuk KBRI. ditemani adikku dan suaminya, aku berusaha tetap tenang.
Lewat tengah malam, handphone yang tak pernah lepas dari sisiku berbunyi, cepat ku angkat, berharap ada kabar dari suamiku, alhamdulillah..harapanku tidak sia-sia, seseorang dari ‘kinana cybercafe’ memberi kabar gembira, malam itu suamiku menghubungi mereka lewat hp teman seorang tahanan dari Binin (satu Negara di Afrika, belakangan aku tahu dari suamiku, ia ditahan bersama suamiku dengan kasus yang sama, namun nasibnya lebih aneh..saat bertemu mabahits, dia bersama seorang temannya sedang ingin berkunjung ke rumah teman mereka di Nasr city, visa mereka masih ada, tapi karena saat bertemu mabahits mereka sedang tidak memegang paspor, otomatis tidak bisa dibuktikan, dan karena itulah mereka di tahan, sesaat setelah dibawa, mereka sempat menghubungi teman yang ingin mereka kunjungi, dan jadilah malam itu sang teman berhasil menemukan mereka, sebuah berkah juga bagi suamiku, iapun akhirnya bisa menghubungi temannya) dari sinilah kami tahu suamiku sekarang sedang berada di maktab syurthoh (kantor polisi) di daerah Abbas ‘Aqqad, sekilas aku sempat protes kenapa suamiku tidak langsung menghubungiku, tapi teman yang menghubungiku menenangkan dengan mengatakan, sengaja suamiku tidak menghubungiku karena tidak ingin membuat emosiku terganggu, dan itu akan memakan waktu, padahal waktunya terbatas, mereka sangat dijaga ketika berinteraksi dengan orang luar, dan mengapa suamiku menghubungi kinana, karena disanalah komunitas teman-teman dekatnya saat itu (suamiku membuka usaha warnet bersama) dan no.telpon kinana lah yang paling ia hapal.
Alhamdulillah…aku jadi lebih tenang, sekitar jam 3 dinihari, hp ku kembali berbunyi… suara di sebrang sana membuatku tak sanggup menahan tangis yang sempat terhenti, lewat hp abu nabil suamiku sibuk menenangkanku, rupanya teman-teman kinana bersama abu nabil sedang mengunjungi suamiku untuk mengetahui kabar sekalian membawakan makanan sahur, hari itu adalah hari terakhir bulan Ramadhan. Mengetahui suamiku baik2 saja membuatku mendapat semangat untuk makan sahur buat bekal puasa hari itu.
Tak sabar menunggu siang,aku sudah menyiapkan apa saja yang ingin ku bawa untuk suamiku di tahanan (adikku yang menyarankan ini, pikiranku benar-benar blank dan tidak tahu harus berbuat apa) kaos kaki, sarung dan beberapa pakaian tebal pun ku masukkan tas, sedih rasanya mengingat suamiku saat itu hanya memakai jaket tipis, peci dan kaos kaki tipis (itulah yang dipakainya saat pergi ke musholla), padahal sedang musim dingin, terbayang suasana sel yang sangat tidak mendukung di musim dingin. (saat ini aku bisa membayangkan perasaan para istri yang suaminya sedang dalam tahanan…sabar ya bu)
Akhirnya siang datang…dengan penuh harapan, aku ditemani adik dan seorang teman dari KMKM (keluarga mahasiswa Kalimantan mesir, salah satu organisasi kekeluargaan perdaerah) mendatangi kantor polisi abbas ‘aqqad, namun singkat cerita…entah bagaimana proses izin pertemuan tersebut (karena aku dan adikku memang hanya menunggu diluar, sementara teman dari KMKM itulah yang mengusahakan izinnya) setelah beberapa jam menunggu, tanpa alasan dan keterangan yang jelas, kami pulang tanpa hasil, harapan bertemu suamiku dan memastikan sendiri keadaannya baik-baik saja pun gagal..akhirnya aku pasrah, dengan keyakinan ada Dia yang menjaga suamiku dan tidak akan menyia-nyiakan harapan hambaNya membuatku berusaha tegar, menunggu kabar dan perkembangan selanjutnya (dari cerita suamiku kemudian baru ku tahu, saat itu ia sedang dipindahkan ke rumah tahanan di sebrang kampus al azhar putri di hayy sabi’, bersama kriminil-kriminil lain, mereka diangkut menggunakan mobil tahanan berwarna biru…mobil yang seringkali kami lihat melintas dijalan..tak terbayangkan ternyata suamiku termasuk diantara orang yang mendapat ‘kesempatan’ merasakan naik mobil itu, sering kami heran melihat tahanan-tahanan yang ada didalamnya melongok lewat jendelanya yang kecil lagi ber teralis, apa mereka tidak malu menampakkan wajahnya dihadapan orang?? ternyata udara panas dan pengap didalam mobil itulah yang membuat mereka justru saling berebut mencari udara segar melalui jendela, kasihan suamiku…).
Siang berlalu…ifthor (buka puasa) pun datang..tak berapa lama, takbir kerkumandang..pemerintah mesir mengumumkan, bahwa 1 syawal telah datang..Idul fitri tanpa suami? Hanya aku dan zaid yang masih dalam perut. yang ada, betapa menyedihkan, tambah pilu mengingat nasib suamiku yang entah bisa ikut merayakannya atau tidak. Ya Allah jagalah suamiku, aku yakin seyakin-yakinnya, Kau selalu bersamanya.
Allah memang maha penyayang kepada hambaNya yang berserah diri, doa dan harapanku di ijabahNya, malam itu suamiku menelpon, insyaAllah malam itu juga ia akan pulang, ia dibebaskan dan akan secepatnya kembali ke rumah…terima kasih ya Allah, ‘maka nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan??’ ,seorang teman dekatku –yang sejak berangkat ke mesir hingga hari itu- tetap setia menemani dalam suka dan duka, ia yang saat itu berada disampingku, menjadi saksi betapa tak tergambarkan suka cita yang ku rasakan.
Jam 11 malam waktu kairo (kalo ga salah), salam suamiku yang khas muncul di depan pintu rumah kami -yang memang sengaja ku buka lebar-lebar- (aku tak takut pintu terbuka walaupun sudah tengah malam, karena memang masih ada beberapa teman yang juga sengaja menunggu ketika tahu suamiku akan pulang malam itu). Nikmat itu benar-benar nyata, karunia dan anugerah yang mungkin sering aku lengah dengan keberadaannya, (“manfa’atkanlah kebersamaan yang kau punya dengan orang-orang yang kau sayang, karena kau tak pernah tahu, kapan nikmat itu Ia ambil kembali”)…
Tak nampak raut sedih ataupun penyesalan pada diri suamiku, ia tahu dan yakin, inilah scenario Allah yang harus ia lewati, dengan penuh rasa syukur..ia berterima kasih kepada semuanya, atas perhatian dan dukungan yang ada. Aku hanya tak mengerti…hukum mesir yang menganut ‘asas praduga bersalah’ (seseorang langsung dinyatakan bersalah ketika terlihat melanggar hukum, masalah pembuktian bahwa ternyata dia tidak bersalah, itu urusan belakangan, yang penting tahan dulu) menurutku benar-benar merugikan, karena nya suamiku jadi punya pengalaman aneh, diborgol berdua dengan seorang tahanan berkulit hitam, kemana-mana terpaksa harus berdua, bahkan ke kamar kecil tahanan yang kondisinya sangat memprihatinkan, tanpa pintu.
Ala kulli haal, tak ada takdir Allah yang sia-sia, setiap pengalaman seburuk dan sepahit apapun, selalu dapat di jadikan ibroh dan renungan. Sungguh ini tak sebanding dengan derita dan jalan hidupnya mereka para salafush sholeh yang keluar masuk penjara demi menegakkan yang hak, Imam Ahmad yang rela dicambuk dan di siksa di dalam penjara demi mempertahankan keyakinannya bahwa al qur’an adalah kalamulloh, bukan makhluk. Semakin tinggi pengakuan seseorang atas cintanya pada robbnya, semakin sering pula Allah akan mengujinya, itulah tanda pembuktian cinta, tinggal kita yang memilih, tetap ingin membuktikan, atau menyerah berbalik arah. Ya Allah, tetapkanlah hati kami, dalam menggapai cinta dan ridhoMu.
Pesan singkat untuk mereka para pemegang kendali hukum…tolong pertimbangkan hukum-hukum yang ‘aneh-aneh’, agar di perjelas dan tidak lagi membuat orang ter ‘aneh-aneh’.
Kepada semua pihak yang ‘terlibat’ di dalam tulisan ini, ana ucapkan jazakumulloh khoir, hanya Allah yang bisa membalas semua support dan care kalian. Semoga kita bisa selalu mengambil pelajaran dari setiap episode jalan hidup kita.
Minggu, 13 Desember 2009
KU CINTA KAU KARENA ALLOH
Kucinta kau karena Alloh,karena ku ingin mendapat naunganNYA pada hari kiamat nanti...
Kucinta kau karena Alloh, karena ku ingin mimbar2 dari cahaya,sehngga membuat cemburu para Nabi dan syuhada...
Kucinta kau karena Alloh, karena Alloh menjanjikan keberuntungan,menyenangkan jalanku dan sebuah rumah di surga...
Kucinta kau karena Alloh, karena Alloh menjanjikan cinta untukku...
-catatan seorang istri, he is sleeping... Ya Alloh, jika Kau berkenan izinkan aku tetap mencintainya karenaMU hingga akhir hayatku-
IM NOBODY
Ade g pintar...
Jawabnya:tapi kakak senang krn ade semangat buat belajar
ade gbisa masak
jawabnya:pasti bisa selama mau belajar,kk senang apapun masakan ade
ade g kerja,g membntu financial keluarga
jawabny:cari uang kewajiban kk,ade urusin anak2,rumah,keluarga aja kk senang
ade perfectionis,agak pemarah
jawabnya:gpapa nt kk rayu biar g marah
cinta ade berkurang,gmana?
Jawabnya:cinta kakak mah g berkurang
ade...
Jawabnya:...
Ya Alloh...Ampuni aku sekiranya bnyak menafikkan kebaikannya,beri petnjuk padaku,jgn KAU buat aku msuk neraka krn ini...
Ya Alloh.. Sungguh mulia dan bijaksana makhlukMu yg 1 ini.
Kita kan jauh,ga saling tau,kk gtau lampung,gtau ana
jawabnya:gpapa, kan ada ALLOH...
Abinya zaid...I love u...
Jumat, 11 Desember 2009
ZAHRA NAZEEHA PUTRI AYUDIA
Bismillah...
27 Oktober 2009.... lahirlah anak kedua saya, Zahra Nazeeha Putri Ayudia. Bahagia rasanya ternyata dia lahir sesuai dengan yang kami inginkan. Seharusnya HPL (hari perkiraan lahir) nya 22 Oktober. Dokter sudah memberikan waktu sampai tanggal 29 Oktober, kalau tidak lahir berarti harus ‘dipaksa keluar’. Waah sudah deg2an, takut kalo membayangkan caesar....Alhamdulillah tanggal 27 hari selasa jam 4 sore di RSB Astana Anyar, lahir juga bidadari kecil kami... dengan berat 2900 gram dan panjang 48 cm.
Zahra Nazeeha Putri Ayudia...Zahra, diambil dari seorang putri Rasul dan juga berarti bunga. Nazeeha yang berarti yangjujur,adil,bersih,yang terjaga,suci, yang mulia/lurus hati. Putri Ayudia, maksudnya anak perempuan dari a’ Yudi dan Dian hehehe... Sebenarnya saya hanya ingin menamainya Nazeeha, tapi abinya ingin Zahra, biar sama2 “Z” dengan Zaid (anak pertama saya). Putri Ayudia dari mertua (dan keinginan saya dulu juga sih hehe..)
Empat hari setelah dia lahir, qadarullah dia harus diterapi sinar karena bilirubin nya tinggi (hiperbilirubin),sebenarnya saya ingin dijemur saja dirumah, tetapi dokter bilang mesti di sinar. Puufff....Jadi saya mesti menjaganya sendiri di RSB Astana Anyar. Saya baru melahirkan tetapi mesti menjaga sendiri Zahra..Ya Alloh alhamdulillah dimudahkan...Tepat 3 hari di RS, hari ke-7 kelahirannya Zahra pulang,dirumah sudah menanti keluarga dari Lampung dan kambing...Alhamdulillah ada rezeki buat aqiqah Zahra...
Sambil nulis dia ada dipangkuan saya, tertidur soalnya klo saya tarok di tempat tidur, dia pasti bangun.....Saya mohon kepada Allah untuk memudahkan mendidiknya menjadi anak yang solehah dan ia selalu mendapat hidayah dari Alloh untuk menjadi orang yang berguna dan beriman dalam Islam serta di jalan salafussaleh...amiin...
Baarokallahu laka filmauhuubi laka wasyakartal waahiba wabalgho asyuddahu waruziqta barrohu...(semoga Alloh memberkahimu dalam pemberian untukmu dan engkau bersyukur kepada yang memberi sehingga ia dewasa dan engkau di anugrahi dengan kebaikannya)
Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wadzurriyyaatinaa qurota a’yun waj’alnaa lilmuttaqiina imaamaa...
KUE CUBIT
Beginilah kalo ga bisa masak ya, resep yang menurut orang sederhana ini aja minta kasih tau orang lain hehe... maklum,waktu gadis ga pernah masak..karena sibuk kuliah sambil kerja. Lagi pula dah ada yang jago masak, jadi deh masakan saya ga ‘kepake’ hehe..-i love u mom-
Resep ini dikasih sama seorang ummahat yang saya kenal lewat facebook (mbak Gemala Nuriah-yang kebetulan nama anaknya juga Zaid n Zahra..Subhanallah...)
Jazakillah ya ukhti...*smile*
Bahan-bahannya kata mbak Gemala ga sampe 10.000,tapi bisa jadi 50 an kue gitu. Ini nih bahan2nya:
1. terigu 2 ons
2. gula pasir 1,5 ons
3. fermipan 1 sdt
4. vanilli 1 bks
5. telur 1 butir
6. susu kental manis putih 2 sachet
7. blue band 2 sdm-cairkan
8. air hangat secukupnya
9. meises untuk taburan
Cara buatnya:
-bahan2 no 1-4 diaduk rata
-masukkan bahan2 no 5-8,untuk mentega,masukkan dalam keadaaan panas2. lalu aduk2 dengan tangan (jangan lupa cuci tangan dulu ya) hehe
-aduk2 hingga menjadi adonan yang kental
-tutup dengan serbet bersih,jemur di bawah sinar matahari selema kurang lebih 2 jam
-cetak deh....
Nah gitu,mudah kan? Ga perlu di oven/bakar. Kalo sudah dicetak tinggal dimakan,tapi sebelum dicetak ditaburi meises dulu ya...
Kalo misal ga ada panas, kata mbak Gemala bisa juga tarok di atas magic com yang lagi on. Tapi di atasnya ya,hati2 juga,jangan sampai tumpah.
Info lagi,kemarin saya beli cetakannya yang bulat2 harganya 12.000. ada berapa lubang ya?agak lupa hehe...
selamat mencoba ya...
Kamis, 03 Desember 2009
KEDUDUKAN SEORANG IBU
enulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Dalam Tanzil-Nya yang mulia, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.“ (Luqman: 14)
Di tempat lain, Dia Yang Maha Suci berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya dengan menyapihnya adalah tiga puluh bulan….” (Al-Ahqaf: 15)
Dua ayat yang mulia di atas berisi perintah berbakti kepada orangtua sebagai suatu kewajiban dalam agama yang mulia ini. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla menggandengkan perintah berbakti ini dengan perintah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Seperti dalam ayat:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatupun serta berbuatbaiklah kepada kedua orang tua.“ (An-Nisa`:36)
Ayah dan ibu berserikat dalam hal memiliki hak terhadap anaknya untuk memperoleh bakti. Hanya saja ibu memiliki bagian dan porsi yang lebih besar dalam hal beroleh bakti. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya oleh seorang sahabatnya:
يا رسول الله من أحق الناس بحسن صحابتي؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال أمك. قال: ثم من؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال: أبوك
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata menukilkan ucapan Ibnu Baththal rahimahullahu, “Kandungan hadits ini adalah seorang ibu memiliki hak untuk mendapatkan kebaikan yang disebutkan tiga kali daripada hak seorang ayah.” Ibnu Baththal juga mengatakan, “Yang demikian itu diperoleh karena kesulitan yang didapatkan saat mengandung, kemudian melahirkan lalu menyusui. Tiga perkara itu dialami sendiri oleh seorang ibu dan ia merasakan kepayahan karenanya. Kemudian ibu menyertai ayah dalam memberikan tarbiyah (pendidikan kepada anak). Isyarat akan hal ini terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.“ (Luqman: 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyamakan antara ayah dan ibu dalam mendapatkan bakti, dan Dia mengkhususkan ibu dalam tiga perkara (mengandung, melahirkan dan menyusui).” (Fathul Bari, 10/493)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini ada hasungan untuk berbuat baik kepada kerabat[1]. Ibu adalah yang paling berhak mendapatkan bakti di antara kerabat yang ada, kemudian ayah, kemudian kerabat yang terdekat. Ulama berkata, ‘Sesbab didahulukannya ibu adalah karena banyaknya kepayahan yang dialaminya dalam mengurusi anak. Di samping karena besarnya kasih sayangnya, pelayanannya, kepayahan yang dialaminya saat mengandung si anak, kemudian saat melahirkannya, menyusuinya, mendidiknya, melayaninya, mengurusi/merawatnya tatkala sakit dan selainnya’.” (Al-Minhaj, 16/318)
Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya terhadap surat Al-Ahqaf ayat 15, “Ini merupakan kelembutan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya dan kesyukuran-Nya kepada kedua orangtua. Di mana Dia mewasiatkan kepada anak-anak agar berbuat baik kepada kedua orangtua dengan menunjukkan kepada keduanya perkataan yang lembut, kalimat yang lunak/halus, memberikan harta dan nafkah serta sisi-sisi kebaikan lainnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan peringatan dengan menyebutkan sebab seorang anak harus berbuat baik kepada orangtuanya. Dia menyebutkan kesulitan-kesulitan yang ditanggung/dipikul oleh seorang ibu saat mengandung anaknya, kemudian kesulitan yang besar saat melahirkannya, lalu kepayahan menyusuinya dan memberikan pelayanan dalam mengasuhnya. Kesulitan dan kepayahan yang disebutkan ini dihadapi bukan dalam masa yang pendek/singkat, sejam atau dua jam. Tapi dihadapi dalam kadar masa yang panjang “tiga puluh bulan”, masa kehamilan selama sembilan bulan atau sekitarnya dan waktu yang tersisa untuk masa penyusuan. Ini yang umum terjadi. Ayat ini dengar firman-Nya:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Dan para ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna.” (Al-Baqarah: 233)
dijadikan sebagai dalil untuk menyatakan bahwa minimal masa kehamilan itu enam bulan. Karena masa menyusui (sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat di atas, pent.) lamanya dua tahun (24 bulan, pent.). Bila diambil dua tahun (24 bulan) dari masa 30 bulan maka tersisalah enam bulan sebagai masa kehamilan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 781)
Dari ayat, hadits dan penjelasan di atas tampaklah bagi kita peran agung seorang ibu. Ia telah mengandung anaknya selama sembilan bulan lebih beberapa hari, dengan kepayahan, keberatan, dan kesulitan. Tiba saat melahirkan, ia pun berjuang menghadapi maut. Sakit yang sangat pun dialaminya untuk mengeluarkan buah hatinya ke dunia. Tidak sampai di situ, setelah si anak lahir dengan penuh kasih disusunya kapan saja si anak membutuhkan. Tak peduli siang ataupun malam sehingga harus menyita waktu istirahatnya. Kelelahan demi kelelahan dilewatinya dengan penuh kesabaran dan lapang dada, demi sang permata hati …
Demikianlah. Sehingga pantaslah syariat yang suci ini memberinya pemuliaan dengan memerintahkan anak agar berbakti kepadanya, selain berbakti kepada sang ayah. Bakti ini terus diberikan sampai akhir hayat keduanya. Bahkan juga sepeninggal keduanya, dengan menyambung silaturahim dan berbuat baik kepada sahabat/orang-orang yang dikasihi keduanya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ البِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ
“Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya.” (HR. Muslim no. 6461)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan hadits di atas dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam mencontohkan pengamalan hadits ini dengan perbuatannya. Disebutkan, ada seorang Arab gunung bertemu Abdullah di jalanan di Makkah. Abdullah mengucapkan salam kepadanya, lalu menyerahkan keledai yang ditungganginya agar dinaiki oleh orang tersebut dan memberinya sorban yang semula dipakainya. Ibnu Dinar, seorang perawi hadits ini bertanya kepada Abdullah, “Semoga Allah memperbaikimu! Mereka itu orang gunung (A’rab) dan mereka sudah cukup senang dengan pemberian yang sedikit.” Abdullah berkata menjelaskan sebab ia berbuat demikian kepada si A’rabi, “Ayah orang Arab gunung itu dulunya sahabat yang dikasihi oleh ‘Umar ibnul Khaththab. Sementara aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya‘.” (HR. Muslim no. 6460)
Satu lagi atsar yang menunjukkan keutamaan berbakti kepada ibu. Diriwayatkan dari ‘Atha` bin Yasar, dari Ibnu ‘Abbas seraya berkata, “Aku telah meminang seorang wanita, namun wanita itu menolak untuk menikah denganku. Kemudian ada lelaki lain yang meminangnya dan ternyata ia senang menikah dengan lelaki tersebut. Aku pun cemburu hingga membawaku membunuh wanita tersebut. Lalu, adakah taubat untukku?” Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?”
“Tidak,” jawab lelaki tersebut.
“Bertaubatlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan taqarrub-lah (mendekat dengan melakukan amal shalih) kepada-Nya semampumu.”
‘Atha` bin Yasar berkata, “Aku pergi lalu bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Kenama engkau menanyakan tentang kehidupan ibunya (masih hidup atau tidak)?’.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “Sungguh aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla daripada berbakti kepada ibu.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad dan dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 2799)
Karena berbakti kepada orangtua–khususnya ibu yang sedang menjadi pembicaraan kita–telah diperintahkan oleh agama Islam, maka kita tidak membutuhkan perayaah Hari Ibu untuk mengenang jasa-jasa seorang ibu dan menjadikannya sebagai momen untuk memberi hadiah-hadiah kepada ibu. Atau memberikan perhatian khusus kepadanya dan meng-’istirahat’-kannya dari pekerjaan pada hari tersebut. Seorang anak, dalam Islam, harus berbuat baik kepada ibunya kapan pun. Di setiap waktu dan di setiap keadaan tanpa menunggu datangnya Hari Ibu yang justru merupakan suatu perayaan yang diada-adakan tanpa perintah dari agama. Bahkan semata taklid kepada budaya Barat yang memang tidak mengenal istilah ‘berbakti kepada orangtua’ dalam budaya mereka.
Contoh Anak yang Berbakti
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai seorang yang berbakti kepada ibunya dan tidak melupakan untuk meminta ampun bagi ibunya bila ia beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Muhammad bin Sirin rahimahullahu berkata, “Kami sedang berada di sisi Abu Hurairah pada suatu malam. Saat itu Abu Hurairah berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah Abu Hurairah dan ibuku, serta ampunilah orang yang memintakan ampun untuk Abu Hurairah dan ibunya’.” Muhammad berkata, “Maka kami pun memintakan ampun untuk keduanya agar kami dapat masuk dalam doa Abu Hurairah.” (Diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad no. 37 dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad)
Sebelumnya, ibu Abu Hurairah enggan masuk Islam, Abu Hurairah berkisah, “Aku mengajak ibuku yang masih musyrik untuk masuk Islam. Suatu hari aku mendakwahinya maka ia memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku mengajak ibuku masuk Islam namun ia menolak. Suatu hari aku mendakwahinya, namun ia memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentangmu. Maka doakanlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdoa:
اللَّهُمَّ اهْدِ أُمُّ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
“Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu Abu Hurairah.”
Aku pun keluar dalam keadaan gembira dengan doa Nabiullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika tiba di rumah, aku menuju pintu yang ternyata sedang tertutup. Ibuku mendengar suara gesekan dua telapak kakiku di tanah, maka ia berkata, “Tetaplah di tempatmu, wahai Abu Hurairah.” Aku mendengar suara gerakan/percikan air. Ternyata ibuku mandi, lalu mengenakan pakaian dan kerudungnya. Setelahnya ia membuka pintu, kemudian berkata, “Wahai Abu Hurairah! Aku bersaksi Laa ilaaha ilallah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.” Aku pun kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menangis karena bahagia. Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Bergembiralah, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan doamu dan memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” Beliau pun memuji Allah ‘Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya. (HR. Muslim no. 6346)
Ada lagi seorang tokoh tabi’in yang dikenal sangat berbakti kepada ibunya. Dia adalah Uwais Al-Qarani rahimahullahu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentangnya kepada ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Suatu saat nanti akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama rombongan pasukan penduduk Yaman. Dia berasal dari kabilah Murad, dari Qaran. Dulu dua terkena penyakit belang, lalu dia disembuhkan dari penyakitnya itu, kecuali sebesar dirham di pusarnya. Dia memiliki seorang ibu dan sangat berbakti kepadanya. Kalau dia bersumpah kepada Allah, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala kabulkan sumpahnya. Kalau engkau bisa memintanya agar memohonkan ampun untukmu maka lakukanlah[2].” (HR. Muslim no. 6439)
Haramnya Durhaka kepada Ibu
Perintah berbakti kepada ibu telah jelas bagi kita. Kebalikan dari berbakti adalah berbuat durhaka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan durhaka ini, dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الأُمَّهَاتِ…
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi kalian berbuat durhaka kepada para ibu ….” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 4457)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Durhaka kepada ibu adalah haram dan termasuk dosa besar, menurut kesepakatan para ulama. Betapa banyak hadits shahih yang memasukkannya ke dalam dosa besar. Demikian pula berbuat durhaka kepada ayah termasuk dosa besar. Dalam hadits ini dibatasi penyebutan durhaka kepada ibu (tanpa menyebutkan durhaka kepada ayah) karena kehormatan mereka (para ibu) lebih ditekankan daripada ayah. Karenanya, ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang siapakah yang paling berhak mendapatkan kebaikannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ibumu kemudian ibumu”, sebanyak tiga kali. Setelah itu, pada kali yang keempat beliau baru menyebutkan, “Kemudian ayahmu.” Juga karena kebanyakan perbuatan durhaka dari anak diterima/dirasakan oleh para ibu.” (Al Minhaj, 11/238)
Taat Hanya dalam Perkara yang Selain Dosa dan Maksiat
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa telah turun beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan dirinya. Ia berkisah bahwa Ummu Sa’d (yakni ibunya) bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selama-lamanya sampai ia mau meninggalkan agama Islam. Dia juga bersumpah tidak akan makan dan minum. Si ibu berkata, “Engkau mengaku bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mewasiatkanmu untuk berbakti kepada kedua orangtuamu. Sementara aku adalah ibumu dan aku memerintahkanmu untuk meninggalkan agama baru yang engkau anut.” Sa’d berkata, “Ibuku melewati tiga hari dengam melaksanakan sumpahnya untuk tidak makan dan minum, hingga ia jatuh pingsan karena kepayahan yang dideritanya. Maka bangkitlah putranya yang bernama Umarah lalu memberinya minum. Mulailah si ibu mendoakan kejelekan untuk Sa’d. Allah ‘Azza wa Jalla pun menurunkan dalam Al-Qur’an, ayat berikut:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ?
“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya.“ (Al-Ankabut: 8)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي
“Namun bila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku….”
Dalam ayat tersebut dinyatakan:
فَلَا تُطِعْهُمَا ? وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ?
“Maka janganlah engkau menaati keduanya dan bergaullah kepada keduanya di dunia dengan ma’ruf.“ (Luqman: 15) (HR. Muslim no. 6188)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي الْمَعْصِيَةِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7257 dan Muslim no. 4742)
Bolehnya Menyambung Hubungan dengan Ibu yang Musyrik
Dibolehkan bagi seorang anak untuk tetap menjaga hubungan baik dengan ibunya yang berbeda agama dengannya alias kafir. Karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ? إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى? إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ? وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَـ?ئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu orang lain untuk mengusir kalian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim.“ (Al-Mumtahanah: 8-9)
Asma’ bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma berkata:
قَدِمْتُ عَلَيَّ أُمِّيْ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قُلْتُ: إِنَّ أُمِّي قّدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِيْ أُمَّكِ
“Ibuku datang menemuiku dalam keadaan ia masih musyrikah di masa perjanjian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (dengan kafir Quraisy). Aku pun meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata, “Ibuku datang menemuiku untuk meminta baktiku kepadanya dalam keadaan mengharap kebaikan putrinya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Iya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari no. 2620 dan Muslim no. 2322)
Lalu bila timbul pertanyaan, bagaimana dengan ayat Allah ‘Azza wa Jalla yang menyatakan:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.“ (Al-Mujadilah: 22)
Juga ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ ? وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَـ?ئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai kekasih, jika mereka lebih mencintai/mengutamakan kekafiran daripada keimanan. Dan siapa di antara kalian yang berloyalitas dengan mereka maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.“ (At-Taubah: 23)
Maka dijawab, bahwa berbuat baik dan menyambung hubungan tidak mengharuskan adanya rasa saling cinta. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata dalam tafsir ‘Athiyyah Muhammad Salim dalam kitab pelengkap (Titimmah) Adhwa`ul Bayan (8/154), “Menyambung hubungan dengan memberikan harta, berbuat baik, berlaku adil, berbicara lembut dan surat menyurat, dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah termasuk loyalitas yang terlarang bagi kaum muslimin terhadap orang yang tidak boleh mereka berikan sikap wala` (loyalitas) karena permusuhannya dengan kaum muslimin. Berlaku baik dan adil seperti itu dibolehkan Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak haram untuk dilakukan kepada orang-orang musyrikin yang tidak memusuhi kaum muslimin. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang orang-orang yang menampakkan permusuhan kepada kaum muslimin, kepada mereka ini kita dilarang untuk berloyalitas apabila bentuk loyalitas tersebut selain berbuat baik dan bersikap adil….”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, “Kemudian berbakti, menyambung hubungan dan berbuat baik tidaklah mengharuskan saling cinta dan sayang menyayangi yang dilarang dalam firman-Nya, ‘Engkau tidak akan mendapai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya….’ Karena ayat ini umum mencakup diri orang yang memerangi dan orang yang tidak memerangi.” (Fathul Bari)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
[1] Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
أُمُّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أَبُوْكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
“Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu. Kemudian kerabat yang paling dekat denganmu, dan yang paling dekat denganmu.” (HR. Muslim no. 6448)
[2] Kata Imam An-Nawawi rahimahullahu, “Hadits Uwais ini menunjukkan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua….” (Al-Minhaj, 16/312)
(Sumber: Asy Syariah No. 42/1429 H/2008, halaman 83-88, judul: Kedudukan Seorang Ibu, penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, katagori: Niswah)
Rabu, 02 Desember 2009
jadi merasa rendah sebagai muslimah???...
sebenarnya saya orang yang suka menulis (tapi cuma didiary), itu pun aktivitas sebelum menikah...setelah menikah rasanya males untuk menuliskan apapun...tapi semangat dari abi...gapapa nulis apa ajah...belajar hehe...akhirnya dibuatkan lah blog...walaupun ih bisa bermenfaat ga ya...but what ever...sekarang jadi sedikit2 jadi pingin nulis terus..walaua tulisan yang sederhana dan masih banyak copas nya hmm...
semenjak dibuatkan blog sama abinya zaid, jadi deh suka baca2 blog teman juga, yang subhanAllah... isinya bermanfaat sekali dan bahkan walaupun cuma "isi yang sederhana" tapi banyak bisa diambil hikmahnya atawa pelajarannya...lha kalo tulisan saya???... yah what ever lah yang penting kata abinya Zaid, dont stop trying. "more power honey" begitu lah semangatnya.
yah sebenernya juga baca2 blog teman2 yang menggambarkan segala aktivitasnya, kok sepertinya mereka itu orang yang sangat bermanfaat sekali untuk orang2 disekelilingnya...sedangkan saya?apakah saya bisa bermanfaat untuk orang2 disekeliling saya?saya hanya seorang ibu rumah tangga...hei...STOP!
Pernah suatu saat curhat sama abinya...yah ummi tuh bermanfaat untuk abi, Zaid, Zahra...dan orang2 disekeliling ummi, even ummi cuma beraktivitas dirumah. Alhamdulillah kalo memang bisa bermanfaat....Memang seharusnya ga boleh rendah diri, minder mungkin ya???
hei me!remember about hadits Rosul!
"Tidak ada iri kecuali dalam 2 perkara: seseorang yang diberi Al-Kitab oleh Alloh, lalu dia mengamalkannya di ujung malam dan siang, dan seseorang yang diberi harta oleh Alloh, lalu ia mensedekahkannya pada ujung malam dan siang "(HR. Bukhari Muslim)...
Ya Alloh sesungguhnya Kau tidak akan menciptakan sesuatu yang sia2.....semoga aku bisa menjadi muslim, istri, ummi yang bermanfaat untuk orang2 disekelilingku...Amiin...
Sabtu, 26 September 2009
aku dan Jagoanku
Bismillah..
Sebenarnya banyak yang istimewa yang mesti diceritakan antara Saya dan jagoan pertama saya (Zaid Al-fatih Akbar)....tapi saya tak pandai merangkai kata.saat ini usianya 23 bulan,3 hari. Bulan depan insyaallah ia akan menjadi seorang kakak dari Zahrotul Nazeeha Qurrota'ain (insyaallah kalo adiknya perempuan, hasil USG dia perempuan). Awal kelahirannya sebenarnya saya sudah bertekad akan memberikannya yang terbaik, salah satunya ASI selama 2 tahun, tapi qadarullah ternyata Allah akan memberikan dia yang lebih baik lagi (seorang adik), jadi ia hanya menikmati ASI sampai 16 bulan, sebenarnya ASI banyak, tapi saran dari dokter untuk dihentikan, yah karena memang kalo memberikan ASI juga serasa ada kontraksi pada calon adiknya (walau begitu alhamdulillah ia mendapatkan ASI ekslusif selama 6 bulan).
Tidak ada yang istimewa hari ini, hanya cerita kami berdua dirumah (biasanya kami ke rumah mamah mertua, kebetulan hari ini ingin istirahat dirumah). Seperti biasa Zaid bangun siang, jam 8 baru bangun, abinya sudah berangkat ke kantor. Saat sedang buka jejaring sosial FB Zaid-ku bangun. Alhamdulillah anak ummi dah bangun, alhamdulillah g nangis (karena biasanya kalo bangun tdr tdk ada siapa2 disampingnya suka menangis)...Bangun tidur langsung ikut "nongkrong" di depan notebook. "mbem,mbem..." ujarnya. Pasti dia ingin melihat mobil2 yang sangat disukainya lewat google. Sambil "gogoleran" ia menikmati gambar2 yang sudah saya carikan untuknya, saya pun rebus air untuk dia mandi. Tapi begitu air sudah disiapkan duuuh susah sekali diajak mandi...waktu chat dengan abinya, satu kata dari abinya "ummi mah gabisa ngerayu sih"...uuh....akhirnya airnya dingin lagi. eeh Zaid malah main dagang2an. "dadaaaang,dadaaang" begitu bunyinya, yang maksudnya adalah "dagang", sambil meletakkan sesuatu di kepalanya. Jagoanku...lucu juga sih..:)
Alhamdulillah ada uak nya main kerumah, jadi deh Zaid mandi sama uaknya dengan air yang kembali direbus. Saat saya menulis ini, dia main2 di badan saya, menyandarkan kepalanya di paha saya, Zaid...ummi sayang sama Zaid,kadang ada ketakutan kalo saya tidak bisa membagi perhatian antara dia dan adiknya nanti. Tapi bismillah...Allah yang mengatur semuanya, Allah sudah berikan, jadi insyaallah saya harus bisa! Laa yukallifullah hu nafsan illaa wus'aha. .........
Kamis, 24 September 2009
Roda Kehidupan Pasti Berputar
Pagi hari dua hari yang lalu abi dapat telp dari mamah, intinya diminta kerumah mamah karena ada Mang 'I'. Akhirnya pagi itu setelah beres2 kami ke rumah mamah, tapi ternyata Mang I sudah pulang. Saya masih ingat bagaimana perawakan Mang I. Adik dari bapak mertua, orangnya kecil, badannya kurus, rambutnya yang putih kadang dibiarkan agak panjang dan sedikit 'awut2an' kalo kata orang Jawa. Karena memang "Emang" dari keluarga abi, tidak banyak yang saya tahu. Hanya cerita dari mamah dan abi saja yang membuat saya berkata "ooo..."
"Emang", sekarang sudah ditinggal oleh istrinya yang sudah meninggal karena suatu penyakit dan memiliki seorang anak angkat, karena qadarullaah "emang" tidak dikaruniai anak. Menurut cerita dari mamah dahulu adalah masa2 "berjaya" sang Mamang. Naik turun mobil, rumah gedong, tapi sayang jarang berkumpul dengan keluarga yang lain, jadi seolah2 di dunia hanya ada keluarga Mamang bertiga : Mamang, Bibi dan anak angkatnya. Malah kadang keluarga lain yang akan berkunjung segan, amat sangat segan..(takut dikira....) ya begitulah kalau ada kesenjangan ekonomi antara keluarga. Kalo yang "benghar" jarang mengunjungi yang "kurang benghar" jadi asa2 teu kenal kitu meureun...Pokoknya kehidupan mewah yang dialami Mamang dahulu saat masih ada Bibi. Semua memang takdir Allah, tapi kehidupan Mamang berubah ketika Bibi meninggal. Jadi kehidupannya agak "kacau". Anak angkatnya yang dahulu dinikahkan dengan wali Mamang (yang seharusnya tidak boleh, karena masih diketahui orangtua dari anak angkat tsb!) kini entah kemana. Mamang menikah lagi tanpa sepengetahuan semua keluarga, wanita yang dipilih lebih cocok jadi anaknya..Alhamdulillah mereka dikaruniai seorang putri, tapi qadarullah wanita itu menceraikan Mamang secara sepihak dan menikah lagi dengan laki2 lain dan tak lama mereka memiliki anak (wallahu a'lam sebenarnya itu anak hasil pernikahan sah atau bukan), tapi lebih miris Mamang "diusir" dari rumahnya sendiri oleh wanita ex istrinya tersebut dan sekarang dia tinggal bersama suami barunya (ya Alloh...ada ya wanita seperti itu, Naudzubillah...) dengan dalih itu rumah adalah haknya! Mamang, yang sabar ya....Saya baru tiga kali bertemu dengan Mamang, tapi dari raut wajahnya nampak keletihan yang ada...yang saya ingat kalo Mamang kerumah mamah pasti langsung peluk mamah dan bapak, selanjutnya menangis sejadi2nya.... Sekarang Mamang sudah menikah lagi (dan itu pun tanpa sepengetahuan keluarga)....Kami tidak bisa berbuat banyak. Bapak sebagai kakak Mamang sering menasehati tetapi yah kehidupan Mamang diputuskan sendiri oleh Mamang....
Semua memang rahasia Allah, roda kehidupan kadang di atas kadang di bawah jadi tidak mungkin berjalan datar...Manusia hanya bisa berencana tapi semua Alloh yang mengaturnya dan memutuskannya. Kami sekeluarga hanya isa berdo'a untuk Mamang....
Rabu, 23 September 2009
Potret Wanita Indonesia atau Potret Kemiskinan Indonesia??
Pagi hari ini kembali ke rumah mamah, abinya sudah aktif lagi di kantor. Berhubung usia kehamilan sudah agak dekat dengan hari H jadi weh ke mamah terus, biar ada yang 'siap' antar jaga....:) siap antar ke RSB dan siap jaga Zaid...:)
Saat di rumah mamah, ada tetangga yang sedang sibuk menyiapkan motornya. Tetangga itu adalah Mr.X yang ditinggal oleh istrinya ke Arab Saudi guna "mengejar impian" itu katanya. Ia bekerja sebagai TKW, tapi bukan sebagai tenaga profesional tetapi sebagai PRT (secara istri bos abinya Zaid juga TKW di Dubai, tetapi sebagai arsitektur). Hmmm...walau sama2 sebagai TKW, tapi saya dapat melihat jelas sekali perbedaan antara keduanya...(Saya tidak membahas tentang bagaimana hukum wanita pergi tanpa mahramnya, karena sudah ada di tulisan saya sebelumnya...)
Ok kita kembali ke Mr.X tetangga mamah...
Selain menyiapkan motornya, tetangga tersebut menyiapkan juga kedua anaknya. YAH! tetangga itu punya 2 anak perempuan dan usianya yang satu 4 tahun dan yang satu 2 tahun. Bisa dibayangkan.....(sebenarnya apa yang seharusnya dibayangkan???) bukan hanya sekedar betapa repotnya tetangga mamah itu ngurusin 2 anaknya selain ia harus bekerja, tapi...mengapa tega ya seorang ibu yang punya 2 anak dengan usia yang masih balita pergi begitu saja untuk ngurusin anak orang lain...lha wong anaknya saja duuuh kalo anda melihatnya setiap hari...(afwan bukannya mebicarakan kejelekan orang lain), tapi kayak anak yang tidak punya orang tua...bajunya selalu lusuh, rambutnya lengket, kuku nya hitam, kakinya juga kotor,jarang pake sendal,... "carepel" kata orang sunda mah n caludis...Saya tulis ini didampingi Zaid yang usianya sama dengan anak ke2 tetangga saya itu...tak dapat saya bayangkan,bila saya harus meninggalkan Zaid yang masih amat sangat membutuhkan kedua"tangan" saya...Saya yang tidak bekerja saja kalo harus meninggalkan zaid untuk beberapa jam saja khawatir rasanya (walau ia sama mamah)....
Kenapa seorang ibu tega meninggalkan anaknya? mengejar impian katanya. Benarkah? impian akan apa? harta? ekonomi?kehidupan?pengalaman?puff...tidak ada yang tau, bahkan mungkin perasaan ibu itu terhadap anaknya pun saya tidak tau...Kalaupun alasannya adalah eknomi apakah ini potret kemiskinan Indonesia? atau kah ini potret wanita Indonesia yang rela melakukan apa saja demi....(apa ya???)Wallahu'alam...
Akhirnya tetangga mamah itu selesai menyiapkan anaknya akan pergi entah kemana....dengan kondisi : anak yang tertua di belakang, anak kedua di depan. Keduanya diikat dengan kain menyatu dengan badan Mr.X itu. Hingga menyatu lah badan mereka bertiga dalam satu kain....(bisakah anda membayangkan???) Kalo kata Saya benar2 kondisi yang menyedihkan....Para tetangga (termasuk mamah) sibuk bilang: "Opie di jalan jangan bobo ya, pegangan ke bapak ya, kade ah....)
Ya Allah ampuni aku, bukan maksud menjelek2an orang lain..hanya untuk berbagi untuk para ibu, moga kita tidak termasuk ibu yang seperti itu...
Selasa, 22 September 2009
Berjabat Tangan
Masih di suasana hari Raya Idul Fitri, tentu tidak terlepas dari bermaaf-maafan, silaturahim. Biasanya kalau maaf2an saling berkunjung, berjabat tangan...Nah ini dia nih yang terkadang buat kita serba salah. Masih ingat dulu waktru masih "belum sampai ilmunya" ke saya :bahwa berjabatan tangan dengan non muhrim itu dilarang. Sempat berfikir dan merasa aneh terhadap orang2 yang tidak mau berjabat tangan...(moga Alloh memaafkanku dan menambah ilmuku,amiin).
Jadi ingat waktu wisuda dulu, protokolernya mengatakan : "untuk yang berjabat tangan tanpa menyentuh, harap beri isyarat sebelum rektor memberikan tangannya". Yah pasti semua wisudawan mengerti maksud ucapan tersebut. Sehingga waktu itu saya langsung memberi isyarat dengan meletakkan kedua tangan saya di depan dada, sehingga rektor pun tidak perlu berjabat tangan dengan menyentuh tangan saya. Sebenarnya bagaimana hukumnya berjabat tangan dengan menyentuh bagi non muhrim? Berikut insyaallaah penjelasannya......
Hukum Berjabat Tangan dengan Selain Mahrom
Penulis: Ustadz Abul Fadhl Shobaruddin
Adapun hukum berjabat tangan dengan selain mahram adalah haram, dalilnya sangat jelas, antara lain :
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menegaskan :
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan”.
Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim (16/316) menjelaskan : “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan”.
2. Hadits Ma’qil bin Yasar radhyiallahu ‘anhu :
لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HSR. Ar-Ruyany dalam Musnadnya no.1282, Ath-Thobrany 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 226)
Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar (Nashihati lin-Nisa hal.123).
Berkata Asy-Syinqithy (Adwa` Al-Bayan 6/603) : “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang”.
Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Makky Al-Haitamy (Az-Zawajir 2/4) bahwa : “dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar”.
3. Hadits Amimah bintu Raqiqoh radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam bersabda :
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita”. (HSR. Malik no. 1775, Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnadnya 4/90, ‘Abdurrozzaq no. 9826, Ath-Thoyalisy no. 1621, Ibnu Majah no. 2874, An-Nasa`i 7/149, Ad-Daraquthny 4/146-147, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4553, Al-Baihaqy 8/148, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsany no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thobaqot 8/5-6, Ath-Thobarany 24/no. 470,472,473 dan Al-Khollal dalam As-Sunnah no. 45. Dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bary 12/204, dan dishohihkan oleh Syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 529 dan Syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shohihain.
Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma` binti Yazid diriwayatkan oleh Ahmad 6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183, Ath-Thobarany 24/no. 417,456,459 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/244. Dan di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin Hausyab dan ia lemah dari sisi hafalannya namun bagus dipakai sebagai pendukung.)
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/243 : “Dalam perkataan beliau “aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita” ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya”.
4. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata :
وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ
“Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam berbai’at, beliau hanya membai’at mereka dengan ucapan“.
Berkata Imam An-Nawawy (Syarh Muslim 13/16) : “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan”.
Berkata Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 4/60) : “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan”.
Jadi bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan tidak dengan menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan sebagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at, apalagi bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’at tentu dosanya lebih besar lagi.
Sumber: http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=AnNisa&article=89&page_order=4
Semoga bermanfaat....amiinMinggu, 20 September 2009
Siapapun yang hidup pasti akan mati
sebelumnya saya dan keluarga mengucapkan "taqobbalallaahu minaa waminkum".
Hari ini adalah hari Raya Idul Fitri yang pertama.Karena taat pemerintah (ialah harus taat ulil amri-pemerintah), maka ikut lebaran hari ini....
Tapi hari ini dihabiskan dengan menjaga rumah mamah. Mamah lagi mudik ke lembur. Sebenarnya mamah tidak merencanakan untuk mudik tahun ini (bahkan ditahun kemarin saya yang rencana mudik ke Ciamis, karena tahun kemarin saya mudik ke kampung saya di Lampung, tapi saya tdk jadi mudik karena usia kehamilan yang sudah tua), Tapi qadarullah, sepupu ada yang meninggal.
A Dadang.....
Innalillaahi wainna ilaihi rojiun...tidak ada yang menyangka.Hari sabtu sore mamah dapat telp bahwa A Dadang kecelakaan saat akan pulang kampung (mudik) di daerah Limbangan. Usianya masih muda, seumuran dengan suami saya, usia pernikahan hampir sama dengan saya,anaknya pun sama baru 1 usia sekitar 2,5 tahun. Hampir sama dengan Zaid..Benar2 tidak menyangka, terakhir kami bertemu 2 bulan lalu waktu arisan keluarga. Semua biasa saja....Teh Neni... afwan tidak bisa bertemu langsung ke kampung, karena usia kehamilan yang sudah 35 minggu, Zidan... yang sabar ya sayang...
Saya dan abinya zaid jaga rumah mamah, saat dzuhur...abinya ke masjid dengan Zaid. Tiba2 langsung mengabarkan bahwa ada tetangga di depan masjid yang meninggal dunia, usianya sudah 70an... innalillahi wainna ilaihi Rojiun...padahal saat ini kompleks di sini sepi, semua sudah mudik dan mungkin sedang silaturahim ke sanak saudara. Tapi kabarnya akan dikuburkan esok hari karena menunggu anaknya dari Tegal.
Peristiwa kematian ini jadi mengingatkan meninggalnya bapak pada 10 Ramadhan 2005, keponakanku Cantik 3 th pada Ramadhan 2008, dan terakhir 2 minggu lalu kakak bapak meninggal dunia...Kematian merupakan peringatan bagi kita yang masih hidup bahwa kita pasti akan mengalaminya...entah kapan...sekarang hanya berusaha untuk mempersiapkan diri, walaupun wallahu a'lam...
Siapapun yang hidup pasti akan mati...hanya bisa berdoa..ya Allah ambil aku dalam keadaan khusnul khotimah..amiin...
Minggu, 12 April 2009
BANGGA MENJADI IBU RUMAH TANGGA
Penulis: Ummu Ayyub
Muroja’ah: Ust Abu Ahmad
Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negri untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?
Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita ‘menunjukkan eksistensi diri’ di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.
Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama “Sekarang kerja dimana?” rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk “Saya adalah ibu rumah tangga”. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu “sukses” berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan “nasehat” dari bapak tercintanya: “Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak.” Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga.
Ibu Sebagai Seorang Pendidik
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.
Sebuah Tanggung Jawab
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Peliharalah dirimu dan keluargamu!” di atas menggunakan Fi’il Amr (kata kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.
Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (IV/494), dan ia mengatakan hadist ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya)
Muqatil mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim harus mendidik diri dan keluarganya dengan cara memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat.
Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu.” (QS. At Tahrim: 6)
Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayahnya.
Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
“dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat.” (QS asy Syu’ara’: 214)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung jawab atas keluarganya. Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun bertanggung jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari 2/91)
Dari keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja sama, saling menasehati dan turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka sangat membutuhkan bimbingannya. Orang tua hendaknya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini adalah tanggung jawab yang besar yang kita akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya.
Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih
Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, “Mau untuk apa nak, tabungannya?” Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab “Mau buat beli CD murotal, Mi!” padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya tentang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi “pengen jadi Superman!”
Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-?
Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.
Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan. Sedih!
Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.
Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka?
Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?
Lalu…
Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata ‘cuma’? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?
Wallahu a’lam
Maroji’:
- Dapatkan Hak-Hakmu, Wahai Muslimah oleh Ummu Salamah as Salafiyyah. Judul asli: Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat
- Mendidik Anak bersama Nabi oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Judul Asli: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl
- Majalah Al Furqon Edisi: 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427/April 2006
***
Artikel www.muslimah.or.id
TOPENG EMANSIPASI
Penyusun: Ummu Khadijah dan Ummul Hasan
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
Saudariku yang semoga dirahmati Allah, sudah tidak asing terdengar di telinga kita bahwa baiknya wanita akan menjadi kunci kebaikan umat. Peran dan partisipasi seorang wanita adalah suatu hal yang sangat penting. Wanita laksana pedang bermata dua, jika ia baik dan menunaikan tugas-tugas utamanya sesuai dengan yang Allah gariskan maka ia bagaikan batu-bata yang baik bagi bangunan masyarakat Islam. Namun jika ia telah menyimpang dari syari’at yang Allah tetapkan, maka ia ibarat pedang yang akan merusak dan menghancurkan umat.
Musuh-musuh Islam sangat paham bahwa peran wanita muslimah sangat penting dalam membangun masyarakat Islam. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha menyerang Islam melalui kaum wanitanya. Salah satu upaya tersebut adalah dengan menghancurkan wanita muslimah melalui “emansipasi”. Mereka menamakan emansipasi sebagai gerakan yang membebaskan wanita dari kezhaliman dan untuk memenuhi hak-hak mereka secara adil (menurut mereka) –dengan slogan toleransi, kebebasan wanita, persamaan gender, dan sebagainya.
Namun ketahuilah wahai Saudariku, emansipasi tumbuh dari sistem sekuler yang memisahkan antara kehidupan dan nilai agama. Mereka menginginkan wanita menjadi pesaing bagi laki-laki dan memperebutkan kedudukan dengan kaum laki-laki. Wanita dalam konsep mereka ibarat barang dagangan yang dipajang di etalase, yang siap dijadikan tontonan bagi para hamba syahwat dan menjadi budak nafsu mereka. Na`udzubillah, mereka juga berusaha menjauhkan wanita dari hijab dan rumah-rumah mereka, mengabaikan pengasuhan anak dengan mengatakan bahwa mengasuh anak tidak mendatangkan materi, membunuh kreatifitas dan menghambat potensi sumber daya manusia kaum wanita. Coba kita perhatikan, betapa menyedihkannya pemikiran mereka ini yang memandang baik buruknya kehidupan dari sudut pandang materi.
Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dengan syubhat-syubhat (kerancuan) yang mereka lontarkan. Mungkin secara sepintas, wacana emansipasi mampu menjawab problematika wanita dan mengangkat harkatnya tapi tidaklah mungkin itu diraih dengan mengorbankan kehormatan dan harga diri wanita. Sungguh, tak akan bisa disatukan antara yang haq dengan yang bathil. Mereka tidaklah ingin membebaskan wanita dari kezhaliman tetapi sesungguhnya merekalah yang ingin bebas menzhalimi wanita!!!
Islam benar-benar memperhatikan peran wanita muslimah, karena di balik peran mereka inilah lahir pahlawan dan pemimpin agung yang mengisi dunia dengan hikmah dan keadilan. Wanita begitu dijunjung dan dihargai perannya baik ketika menjadi seorang anak, ibu, istri, kerabat, atau bahkan orang lain.
Saat menjadi anak, kelahiran anak wanita merupakan sebuah kenikmatan agung, Islam memerintahkan untuk mendidiknya dan akan memberikan balasan yang besar sebagaimana dalam hadits riwayat `Uqbah bin ‘Amir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
“Barangsiapa yang mempunyai tiga orang anak wanita lalu bersabar menghadapi mereka dan memberi mereka pakaian dari hasil usahanya maka mereka akan menjadi penolong baginya dari neraka.” (HR. Ibnu Majah: 3669, Bukhori dalam “Adabul Mufrod”: 76, dan Ahmad: 4/154 dengan sanad shahih, lihat “Ash-Shahihah: 294).
Ketika menjadi seorang ibu, seorang anak diwajibkan untuk berbakti kepadanya, berbuat baik kepadanya, dan dilarang menyakitinya. Bahkan perintah berbuat baik kepada ibu disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak tiga kali baru kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan perintah untuk berbuat baik kepada ayah. Dari Abu Hurairah berkata,
“Datang seseorang kepada Rasulullah lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak untuk menerima perbuatan baik dari saya?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu,’ dia bertanya lagi, ‘Lalu siapa?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu,’ dia bertanya lagi, ‘Lalu siapa?’ Rasulullah kembali menjawab, ‘Ibumu,’ lalu dia bertanya lagi, ‘Lalu siapa?’ Rasulullah menjawab, ‘Bapakmu.’” (HR. Bukhori: 5971, Muslim: 2548)
Begitu pun ketika menjadi seorang istri, Islam begitu memperhatikan hak-hak wanita sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat-19 yang artinya:
“…Dan pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik…”
Dan saat wanita menjadi kerabat atau orang lain pun Islam tetap memerintahkan untuk mengagungkan dan menghormatinya. Banyaknya pembahasan tentang wanita di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan kemuliaan mereka. Karena sesuatu yang banyak dibahas dan mendapat banyak perhatian tentunya adalah sesuatu yang penting dan mulia. Lalu masih adakah yang berani mengatakan bahwa Islam menzhalimi wanita?!
Wahai saudariku, demikianlah syari’at Islam menempatkan wanita di singgasana kemuliaan. Adapun di zaman sekarang, kenyataan yang terjadi di masyarakat sungguh jauh dari itu semua. Penyebabnya tidak lain adalah karena jauhnya umat Islam dari pemahaman yang benar terhadap agama mereka. Seringkali ada orang yang menjadikan kesalahan orang lain sebagai hujjah (argumentasi) baginya untuk turut berbuat kesalahan yang sama. Terkadang pula orang-orang menilai syari’at Islam dari perilaku orang-orang yang menyatakan bahwa mereka beragama Islam, namun pada hakekatnya perilaku mereka belumlah menggambarkan yang demikian. Oleh karena itu wahai Saudariku, janganlah menjadikan perilaku manusia sebagai dalil. Jadikanlah Al-Qur`an dan Sunnah dengan pemahaman para shahabat sebagai petunjuk bagi kita. Sungguh kita berlindung kepada Allah dari butanya hati dan akal dari kebenaran. Wallahul musta’an.
Dinukil dari:
Artikel “Keagungan Wanita Dalam Naungan Islam” (sumber: Majalah Al-Furqon Tahun 6 Edisi 9 Rabi’uts Tsani 1428 H)
Buku “Emansipasi Wanita” karya Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid
Buku “Wanita-wanita Teladan Di Masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” karya Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi dengan perubahan seperlunya.
***
Artikel muslimah.or.id
Jumat, 13 Maret 2009
my first
abi,i love you...so much(abi wants me to write this word...hehe)
ga sih emang bener i love you so much.but dont forget about ur promise ya...